TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Harry Azhar Azis, mengatakan pada pukul 14.00 WIB ini, Komisi dan pemerintah akan menggelar rapat untuk mengambil keputusan soal pengambilalihan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Hingga kini, Harry belum bisa memastikan sikap Komisi. "Saya tidak bisa menjamin keputusan Komisi, kita lihat saja," kata dia kepada Tempo, Rabu, 30 Oktober 2013.
Ia menjelaskan, ada dua persoalan yang menjadi sorotan Komisi, yakni tentang harga pembelian Inalum serta porsi saham pemerintah dan daerah. Meski Komisi VI DPR Bidang BUMN sudah sepakat porsi pemerintah minimal 30 persen, Komisi Keuangan bisa berkata lain. "Kami punya kewenangan sama. Kalau komisi XI dan VI berbeda, tinggal pemerintah bingung," ujarnya.
Adapun soal harga, ia menjelaskan, Komisi berpegang pada harga hasil audit BPKP. Jika harga negosiasi yang dicapai tim negosiasi pemerintah Indonesia dengan NAA (Nippon Alumunium Asahan, yang mewakili kepentingan pemegang saham Jepang) jauh di atas harga audit BPKP dan lebih dekat ke harga penawaran Jepang, Komisi akan mempertanyakan hal itu.
"Kalau harganya lebih dekat ke penawaran Jepang, ini menunjukkan tim yang dibentuk Pemerintah lemah. Kami juga tidak tahu siapa ini tim negosiasi. Kenapa tidak dibentuk tim yang kuat? Berarti mau untungkan Jepang," kata dia.
Dalam rapat dengan Komisi Keuangan, 24 Oktober 2013, Deputi Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur Kementerian BUMN Dwijanti Tjahjaningsih menyampaikan, mengacu pada audit BPKP untuk laporan keuangan Inalum per 31 Maret 2013, harganya US$ 558 juta. Angka tersebut bisa berbeda jika yang diaudit laporan keuangan per 31 Oktober 2013. Sementara itu, Menteri Keuangan Chatib Basri menyampaikan, awalnya penawaran harga dari NAA US$ 650 juta lalu turun jadi US$ 626 juta.
Anggaran pengambilalihan Inalum sudah dianggarkan dalam APBN Perubahan 2012 sebesar Rp 2 triliun dan APBN Perubahan 2013 sebesar Rp 5 triliun. Dengan demikian, ada total alokasi Rp 7 triliun. Namun anggaran baru bisa direalisasikan setelah mendapat persetujuan dari DPR.
MARTHA THERTINA