TEMPO.CO, Surabaya - Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal TNI Moeldoko diangkat sebagai warga kehormatan Korps Marinir TNI Angkatan Laut. Moeldoko menjalani proses pembaretan di Bhumi Marinir Karang Pilang, Surabaya, Jumat, 1 November 2013.
Upacara pengangkatan sebagai warga kehormatan itu dihadiri tiga Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Udara, dan Darat. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Unggung Cahyono, Panglima Kodam V Brawijaya, dan Panglima Armada Timur turut hadir.
Dalam pengangkatan secara upacara militer ini, Komandan Korps Marinir TNI AL Mayor Jenderal Marsekal Achmad Faridz Washington memasangkan Baret Ungu kepada Moeldoko. Moeldoko juga menerima Brevet Anti-Teror Aspek Laut Detasemen Jalamangkara dan Brevet Kehormatan Tri Media Intai Amfibi.
Upacara militer pengangkatan Moeldoko ini dimeriahkan dengan demonstrasi bela diri ala Marinir, penembakan dengan roket pelontar granat, serta penembakan dengan meriam tank PT-76 dan tank BMP-3F. Acara ini ditutup dengan defile pasukan dan defile kendaraan tempur milik Korps Marinir TNI AL. Pelaksanaan pengangkatan Moeldoko sebagai warga kehormatan diawali dengan masuknya enam meriam Howitzer 105 milimeter dan empat tank BMP-3F yang membentuk formasi di depan mimbar.
Tiga personel menampilkan atraksi terjun bebas dengan membawa brevet dan baret yang mendarat tetap di tengah formasi. Achmad Faridz lantas memasangka Baret Ungu dan menyematkan kepada Brevet Anti-Teror Aspek Laut Detasemen Jalamangkara dan Brevet Kehormatan Tri Media Intai Amfibi kepada Jenderal Moeldoko.
Moeldoko merupakan warga kehormatan Korps Marinir yang ke-31. Sebelumnya, gelar warga kehormatan ini diberikan kepada Dr Marsetio pada 14 Maret 2013. Marsetio merupakan Laksamana TNI.
Seusai acara, jenderal bintang empat ini mengatakan yang kuat dalam TNI adalah kesatuan perintah. "Unity of command itu dibangun berdasarkan struktur komandan dan juga membangun kohesivitas emosional," katanya.
Menurut Moeldoko, dalam struktur komando, sangat jelas aturan kesatuan komandan. Adapun dalam naungan kultur secara struktural, kata dia, harus dibangun hubungan emosional antara yang memimpin dan yang dipimpin.
DAVID PRIYASIDHARTA