TEMPO.CO, LOS ANGELES – Direktur Senior Bagian Komunikasi Diebold, Mike Jacobsen, enggan mengomentari cara berbisnis di Indonesia, peraturan lokal, dan dampak dari pembayaran. Termasuk dampak susulan yang mungkin akan mempengaruhi bisnis Diebold di Indonesia pasca-gugatan kasus suap di tiga negara terkait pengadaan mesin anjungan tunai mandiri (ATM).
Menurut Jacobsen, Diebold menyadari masalah-masalah sejak awal, bertanggung jawab, dan memperhatikan periode penyelidikan Foreign Corruption Practices Act. “Sehingga kami dapat kembali berfungsi menawarkan jasa pengelolaan perusahaan dan melayani pelanggan kami,” katanya kepada Tempo.
Jacobsen menjelaskan, pihaknya sedang menyelesaikan persetujuan pembayaran dengan SEC dan Departemen Kehakiman. “Ini langkah penting untuk memperbaiki perusahaan di masa yang akan datang,” ujarnya.
Pengadilan Distrik Columbia, Amerika, mendenda Diebold Incorporated--induk Diebold Indonesia--sebesar US$ 48,1 juta (sekitar Rp 535,6 miliar). Mereka dituduh menyuap pejabat bank milik pemerintah Cina dan Indonesia serta bank swasta Rusia untuk memperlancar bisnis. Sistem pengawasan internal perusahaan dinilai melempem, sehingga tidak bisa mendeteksi dan mencegah tindak pidana ini.
Perusahaan setuju membayar US$ 25,2 juta (sekitar Rp 280,6 miliar) dan menjalani penundaan kesepakatan tuntutan tiga tahun dengan Departemen Kehakiman Amerika. Penundaan itu untuk menyelesaikan tuntutan yang muncul karena Diebold melanggar Undang-Undang Praktek Korupsi di Luar Negeri (Foreign Corrupt Practices Act) yang dilakukan selama 2005-2010. Masih ada denda US$ 22,9 juta yang mesti dibayarkan kepada otoritas pengawas pasar modal Amerika alias Securities and Exchange Commission (SEC).
Retno Sulistyowati, Praga Utama, Lolo Kartikasari Santosa (Los Angeles)