TEMPO.CO, Jakarta - Instalasi berbentuk gambar kartun yang terletak di lantai dasar Lotte Shopping Avenue Jakarta Selatan ini mengingatkan pada game jadul seperti Mario Bros dan Pacman. Pasalnya, format yang digunakan adalah grafis 8-bit.
Terdapat patung dua dimensi yang menggambarkan seorang pria berponi samping, semntara seorang perempuan mengenakan sepatu boot tinggi yang dengan kenesnya berpose dengan tangan di belakang kepala. Di bagian belakang, terdapat gambaran tentang jati diri mereka sesungguhnya, seorang tukang tambal ban dan pegawai warung pecel lele.
Ini adalah penafsiran Narpati Awangga, alias Oomleo, tentang budaya Korea yang telah merasuk sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Bagaimana orang ingin menjadi semirip mungkin dengan idolanya.
"K-Pop mampu membuat perubahan di berbagai negara, tak hanya di Indonesia. Ini bahkan belum bisa dilakukan oleh kebudayaan lain, seperti India yang akarnya sudah lama," ujarnya dalam media gathering, Kamis, 31 Oktober 2013 lalu.
Karya bertajuk Jakarta K-Picture Elements ini adalah bagian dari eksibisi Ordinary Negotiation yang digelar untuk memperingati 40 tahun peringatan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Korea Selatan. Pameran ini diselenggarakan oleh Korean Cultural Center hingga 3 November lalu. Terdapat lima seniman Indonesia dan lima seniman Korea yang berbagi ruang pameran yang mengusung tema pop culture, komoditas, dan diaspora.
Ada pula karya Prilla Tania yang bertajuk Seperti Gado-Gado berupa video sepanjang tiga menit yang didesain seperti acara memasak-memasak. Hanya saja, yang diperagakan bukanlah gado-gado, melainkan masakan Korea, Bibimbap. Disini diperlihatkan bagaimana kekuatan media dalam menanamkan informasi kultural pada publiknya, meskipun nyatanya informasi tersebut jauh dari kenyataan.
Seniman lain, Tintin Wulia, memberikan sebuah interpretasi menarik tentang kewarganegaraan. Ia menghadirkan sebuah mesin capit yang biasa ditemukan di pusat game atau hiburan, namun bukannya boneka yang menjadi hadiah, melainkan paspor dari sepuluh negara termiskin dan sepuluh negara terkaya. Pengunjung bisa memenangkannya hanya dengan memasukkan sekeping uang Rp 500.
Sementara itu, sebuah tulisan Hangul ditempatkan di bawah kaca pembatas (railing) lantai dua mal itu. Di sampingnya terdapat versi bahasa Indonesia dari tulisan ini: “Apakah kamu merindukan kampung halamanmu?”. Ini adalah karya dari seniman Korea Park Yongseok yang ditujukan bagi para perantau.
“Ia ingin membuat karya yang pesannya mengendap di pikiran orang yang melihatnya,” ujar Jeong-Ok Jeon, salah satu kurator pameran ini.
Dalam pameran ini beberapa seniman Korea juga menampilkan byeongpung, atau pembatas ruangan gaya baru. Byeongpung yang secara tradisional terbuat dari kertas, kini disusun dari beberapa layar monitor dan dilengkapi animasi, namun tetap mempertahankan ciri khas motif alam dan binatang seperti capung dan kupu-kupu.
RATNANING ASIH