TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Mohammad Jumhur Hidayat mengatakan tenaga kerja ilegal sesungguhnya menguntungkan dua pihak, yakni pekerja dan masyarakat setempat. "Karena pekerja tidak perlu repot mengurus surat, sedangkan masyarakat setempat bisa mendapatkan tenaga kerja murah," kata Jumhur di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya, Jakarta Barat, Selasa, 5 November 2013.
Tapi, kata Jumhur, praktek tersebut merugikan pemerintah setempat karena pajak tidak dibayarkan. "Untuk itu, mereka melakukan penertiban," ujarnya.
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja Arab Saudi telah memberlakukan kebijakan amnesti/pemutihan bagi seluruh warga negara asing di Arab Saudi yang tidak memiliki izin tinggal. Kebijakan itu berlaku mulai pekan kedua Mei 2013 hingga 3 Juli 2013. Namun kebijakan diperpanjang hingga 3 November 2013. Pemberlakuan kebijakan ini didasari oleh banyaknya TKI yang melebihi batas waktu izin tinggal.
Sanksi untuk para TKI yang melebihi izin tinggal ini bisa berupa denda, bahkan ancaman penjara. Menurut Jumhur, bertolak dari sejarah panjang hubungan kedua negara, sanksi keras tidak diberlakukan bagi para TKI. "Mereka tidak akan memperlakukan para TKI yang ikut berkontribusi dalam pembangunan di negaranya seperti pesakitan," ujar Jumhur.
Menurut data Konsulat Jenderal Republik Indonesia Jeddah, sebanyak 101.067 TKI telah memperoleh Surat Perjalanan Laksana Paspor. Sebanyak 17. 306 orang telah mengurus perbaikan status untuk tetap bekerja di Arab Saudi. Sedangkan 6.257 WNI telah mendapatkan exit permit untuk kembali ke Indonesia, 6.057 di antaranya telah kembali ke Tanah Air.
TIKA PRIMANDARI