TEMPO.CO, Jakarta - Sutradaramuda berbakat Setiawan Hanung Bramantyo, lahir di Yogyakarta, 1 Oktober 1975. Merupakan anak dari pasangan Salim Purnomo dan Mulyani. Hanung pernah mengeyam pendidikan dan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, namun tidak sampai selesai. Setelah itu ia pindah untuk mempelajari dunia film di Jurusan Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Berbagai film telah hebat telah ia ciptakan dari tangan dinginnya. Diantaranya yaitu, Topeng Kekasih (2000), Gelas-gelas Berdenting (2001), Brownies (2004), Catatan Akhir Sekolah (2005), Sayekti dan Hanafi (TV) (2005), Jomblo (2006), Lentera Merah (2006), Get Married (2007), Ayat-Ayat Cinta (2008), Doa Yang Mengancam (2008), Perempuan Berkalung Sorban (2009), Get Married 2 (2009), Sang Pencerah (2010), Tendangan dari Langit (2011), Perahu Kertas (2012), Perahu Kertas 2 (2012), Cinta Tapi Beda (2012), Habibie & Ainun (2012), dan Gending Sriwijaya (2013).
Di tahun 2014 ini , Hanung sedang mempersiapkan karya besarnya yang berjudul Soekarno.
Menurutnya, film ini merupakan film terberat yang pernah ia garap. Pasalnya, film ini melibatkan sampai tiga ribu pemain dan figuran. Dan terdapat salah satu scene yang memerlukan waktu hingga 6 hari untuk pengambilan gambarnya. Film ini mengambil fokus yang mengisahkan Soekarno dari kelahirannya sampai Indonesia merdeka.
Dalam memperingati hari pahlawan pada tanggal 10 November 2013, tujuan Hanung membuat film bertemakan sejarah adalah agar rakyat Indonesia saat ini tidak melupakan sejarah.
"Semangat kepahlawanan harus tetap dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari," ujarnya tentang film Soekarno yang akan tayang pada bulan Desember nanti.
ANINDYA LEGIA PUTRI
Topik Terhangat
Korupsi Hambalang | SBY Vs Jokowi | Suami Ratu Atut Meninggal | Suap Akil Mochtar | Adiguna Sutowo |
Berita Terpopuler
Drama Surabaya Membara Kembali Dipentaskan
Nyaris Bangkrut, Eros Bikin Film Tjoet Nya' Dhien
Film Soekarno di Ende Segera Digarap
Widyawati:Makna Hari Pahlawan, Mencintai Tanah Air
Jadi Soekarno, Baim Wong Harus Bersuara Berat