TEMPO.CO, Yogyakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Gusti Kanjeng Ratu Hemas menampik pernyataan Masyarakat Anti-Kekerasan Yogyakarta (Makaryo) bahwa Yogyakarta darurat kekerasan. Pernyataan tersebut dikemukakan 33 elemen aktivis pro-demokrasi yang bergabung dalam Makaryo saat deklarasi Jogja Darurat Kekerasan pada 7 November lalu di depan Pagelaran Keraton Yogyakarta.
“Enggaklah, enggak darurat. Tapi Yogyakarta disasar terus agar tidak menjadi kota yang toleran, kota yang aman,” kata Hemas seusai menjadi pembicara dalam dialog publik "Mewujudkan Yogyakarta Aman tanpa Kekerasan" di auditorium Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY.
Menurut Hemas, ekspektasi orang atas Yogyakarta cukup tinggi. Semisal, sebelum orang menyekolahkan anaknya di Yogyakarta, maka harus dipastikan Yogyakarta aman atau tidak. Dengan demikian, Yogyakarta pun menjadi sorotan.
“Ekskalasi kekerasan juga tidak tinggi. Tapi, Yogyakarta disasar, iya. Jika sudah bisa masuk ke Yogyakarta, bisa dimasukkin macam-macam. Pemerintah, dong, yang harus mengantisipasi,” kata Hemas.
Koordinator Makaryo, Benny Susanto, menilai Hemas membantahnya karena tidak melihat kenyataan sosiologis masyarakat. Misalnya, ada orang diskusi dibubarkan, ada orang beribadah dibubarkan.
“Kalau mau terjun ke masyarakat, Hemas akan melihat realitasnya. Dan (kasus) itu tidak cuma sekali,” kata Benny saat dihubungi Tempo, Ahad, 10 November 2013.
Dalam deklarasi tersebut, Makaryo memaparkan 18 kasus kekerasan yang telah terjadi di wilayah DIY sejak 1996 hingga 2013. Mulai dari kasus pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin, pada 1996. Kemudian beruntun pada 2013 ada penembakan empat tahanan Lembaga Pemasyarakatan Sleman oleh prajurit Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat, penembakan sipir Lapas Wirogunan Yogyakarta, hingga penyerangan peserta diskusi yang diadakan keluarga eks tahanan politik 1965 di Godean, Sleman.
“Makanya kami sebut darurat. Karena kasus kekerasan berlarut-larut dan tidak tuntas sejak 1996,” kata Direktur Indonesian Court Monitoring, Tri Wahyu, yang merupakan anggota Makaryo.
Berulangnya kasus-kasus kekerasan, menurut Benny, karena masyarakat bersikap permisif. Ada kecenderungan membiarkan kasus kekerasan terjadi. Aparat penegak hukum pun tidak melakukan langkah konstruktif, bahkan melakukan pembiaran. “Apa artinya ada UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY? Sama artinya UU itu teranulir,” kata Benny.
Meski demikian, Makaryo tetap akan menyampaikan data-data kekerasan di DIY kepada DPD. Selain itu, Makaryo akan minta kepada DPD untuk memfasilitasi pertemuan dengan Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan Kepala Kepolisian Daerah DIY Brigadir Jenderal Haka Astana untuk mencari solusi.
“Boleh saja. Saya pelajari dulu. Saya enggak bisa mengatakan bisa atau menjanjikan, tapi akan mengkomunikasikan dulu,” kata Hemas.
PITO AGUSTIN RUDIANA