TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah memprotes konsorsium Jepang, Nippon Asahan Aluminium (NAA), yang terus merugi dalam pengusahaan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). JK, begitu ia biasa disapa, datang ke Jepang pada 2006 dan meminta pemerintah dan perusahaan swasta Jepang mengembalikan kontrak Inalum. "Terus merugi sejak awal beroperasi pada 1975," katanya kepada Tempo di Jakarta, Rabu, 6 November 2013.
Permintaan JK ditolak pejabat Jepang. Mereka mempertahankan pabrik yang memproduksi 250 ribu ton aluminium itu karena menjadi simbol persahabatan Indonesia-Jepang. Inalum merupakan perusahaan patungan pertama antara Indonesia dan Jepang yang pengoperasiannya dimulai 1975.
Jawaban pejabat Jepang itu ditanggapi JK dengan sentilan. JK yang dikenal ceplas-ceplos mengatakan proyek persahabatan harus menguntungkan kedua pihak. Adapun Inalum tidak menguntungkan Indonesia. "Indonesia tidak dapat untung padahal listrik dipakai, sumber daya alamnya terpakai, malah utang besar, berarti tidak benar. Saya mau ambil alih," katanya. Sejak beroperasi, Inalum belum pernah membukukan keuntungan. Utang akumulai pabrik di Asahan, Sumatera Utara ini disebut-sebut mencapai US$ 900 juta sampai 2005.
Sindiran JK sepertinya menohok pejabat Jepang. Dua pekan setelah kedatangan JK di Tokyo, Jepang, laporan keuangan Inalum mampir ke mejanya. "Langsung untung," ujarnya. Pabrik aluminium itu mencatatkan keuntungan pertama kali pada 2006 sebesar US$ 136 juta. Hingga tahun ini, Inalum mencatatkan keuntungan setiap tahun. Tahun ini laba Inalum mencapai US$ 30,66 juta hingga semester pertama. Laba tahun ini diprediksi akan meningkat melebihi laba 2012 yang mencapai US$ 61 juta.
Kontrak Jepang di Inalum berakhir pada 31 Oktober lalu. Namun pemerintah tak kunjung cepat mengambil alih karena mempersoalkan audit dan harga yang disodorkan NAA. JK mengkritik lambannya pemerintah mengambil alih Inalum sehingga memberi peluang Jepang membawa sengketa ini ke arbitrase. Selama proses arbitrase yang bisa berlangsung delapan bulan lebih, JK memprediksi Indonesia harus berbagi keuntungan dengan Jepang. "Kita merugi," katanya.
AKBAR TRI KURNIAWAN