TEMPO.CO, Jakarta -- Mantan Wakil Presiden Jusf Kalla mengkritik pemerintah yang lamban mengambil alih PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Selama tiga puluh tahun pabrik aluminium ini dipimpin konsorsium Jepang, Nippon Asahan Aluminium (NAA), yang memiliki 58,9 persen saham. Kontrak NAA berakhir 31 Oktober lalu, namun hingga kini banyak aral yang menghalangi pemerintah menguasai penuh pabrik yang dibangun dengan investasi US$ 2 miliar.
"Sangat merugi jika pengambil alihan tidak selesai dan melalui arbitrase, itu tidak benar. Langsung saja, 1 November diambil semua baik asetnya maupun sahamnya," katanya kepada Tempo di Jakarta, Rabu, 6 November 2013. Perundingan Indonesia-Jepang terancam melalui arbitrase yang prosesnya paling cepat delapan bulan. JK, begitu ia biasa disapa, menilai selama proses arbitrase, Indonesia harus berbagi untung dengan Jepang. "Ini tidak perlu."
Menurut JK lambannya pemerintah yaitu mempersoalkan audit Inalum. Sikap pemerintah dinilai aneh karena setiap tahun hasil audit Inalum dilaporkan dan ditandatangi wakil Indonesia di rapat pemegang saham. JK mengungkap kutipan dalam rapat pemegang saham itu yang berbunyi: Setelah ada pengesahan ini, laporan diterima dan direksi dibebaskan dari tanggungjawab."
Pernyataan itu lalu ditandangani semua pemegang saham, termasuk Indonesia yang memiliki 41,1 persen. JK menilai bubuhan tandatangan wakil Indonesia menunjukkan kevalidan audit Inalum. Jika pemerintah mau mempersoalkan audit itu, seharusnya dilakukan pada saat pembahasan audit setiap tahun. "Mempersoalkan audit saat ini tidak tepat," katanya. Sikap seolah-olah tidak percaya audit Inalum bakal mencoreng pemerintah sendiri. "Nanti mereka tidak mau percaya Indonesia."
NAA menyodorkan harga US$ 626 juta, sedangkan pemerintah menilai harga Inalum US$ 424 juta, lalu dinaikkan menjadi US$ 558 juta. Ketidakcocokan ini membuat pihak Jepang membawa sengketa Inalum ke arbitrasi. JK menyarankan pemerintah segera membayar harga yang harus dibayar kepada NAA sesuai audit terakhir. Setelah proses itu rampung, pemerintah bisa berfokus dengan bisnis peninggalan Inalum yang menguntungkan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air sebesar 604 Mega Watt (MW). "Listriknya saja menguntungkan," ujarnya.
AKBAR TRI KURNIAWAN
Topik Terhangat
Korupsi Hambalang | SBY Vs Jokowi | Suami Ratu Atut Meninggal | Suap Akil Mochtar | Adiguna Sutowo
Berita Terpopuler
Ical Bersedia Tanggung Utang Hikmat
Suami Hakim Vica Terancam Dipecat Jadi Pendeta
Pelapor Dugaan Korupsi Atut Pernah Mau Dibunuh
Jawara: Tomet Itu Penumpang di Dinasti Atut
Cerita Lengkap Megawati tentang Karier Jokowi