TEMPO.CO, Jakarta - PT Pertamina (Persero) menilai langkah merger PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Pertamina Gas (Pertagas) sebagai langkah yang strategis. "Tentu saja, jika disetujui pemegang saham," kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir, melalui keterangan resmi, Senin, 18 November 2013.
Ia menjelaskan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan sebagai pemegang saham mempunyai kewenangan untuk memutuskan langkah strategis Pertamina. Ali menyebut Pertamina telah menyelesaikan kajian detail mengenai merger antara PGN dan Pertagas, serta menyerahkannya kepada pemegang saham pada akhir 2012.
Baca Juga:
Ali menuturkan, langkah merger itu akan menambah kekuatan pada bisnis hilir gas Pertamina, karena perusahaan hasil merger akan menjadi anak usaha perseroan tersebut. Pertamina mengklaim industri gas nasional dapat diperkuat melalui skema open access. "Baik oleh dua entitas bisnis sebelum merger ataupun setelah merger dilakukan," ujar Ali.
Sebelumnya PGN mengatakan, berdasarkan studi literatur serta benchmark di beberapa negara yang sudah menerapkan liberalisasi industri gas, ada beberapa prasyarat untuk open access. "Tidak dapat langsung diterapkan," kata juru bicara PGN, Ridha Ababil, di kantornya kepada Tempo, Jumat, 8 November 2013.
Ia menjelaskan lima prasyarat yang harus dipenuhi sebelum menerapkan open access. Pertama, kematangan infrastruktur fisik yang terintegrasi di seluruh wilayah Indonesia, baik dalam bentuk jaringan pipa maupun liquefied natural gas (LNG) receiving terminal. Ridha menuturkan, dalam kondisi ini, sudah tidak diperlukan pembangunan infrastruktur besar karena seluruh titik suplai utama sudah terintegrasi dengan semua titik demand utama.
Baca Juga:
Kedua, kematangan infrastruktur legal dan komersial untuk memungkinkan bertemunya penjual, pembeli serta broker,trader atau pialang dalam satu floor yang transparan. "Yaitu dalam bentuk gas market platform. Ridha menyebut hal tersebut serupa dengan PD Pasar Jaya dalam hal komoditas kebutuhan sehari-hari dan bursa efek dalam hal komoditas saham.
Ketiga, supply selalu lebih besar daripada demand pada kondisi normal. Ridha menjelaskan, kondisi tersebut diperlukan untuk menjamin kompetisi yang sehat tanpa penguasaan komoditas oleh salah satu pihak.
Keempat, adanya equal playing field. Yakni, semua pemain memiliki kemampuan kompetisi yang sama. Hal itu berarti tidak ada badan usaha yang dibebani subsidi silang atau harus mengurus wilayah lain yang tidak ekonomis.
Kelima, kapasitas bukan menjadi hambatan. Ridha menuturkan, dalam kondisi ini, seluruh titik supply dapat menyalurkan ke semua titik demand melalui berbagai akses jaringan pipa melalui rute dan looping line."Yang setara antara satu pemain dan pemain lainnya," tutur Ridha.
MARIA YUNIAR