TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku swinger atau saling bertukar pasangan semakin terbuka dengan membentuk klub untuk melakukan pesta seks. Bagaimana pandangan psikolog terhadap pelaku swinger ini?
"Secara psikologi swinger belum dianggap sebagai penyimpangan seksual, seperti fedofilia atau homoseksual, tetapi apakah pelaku swinger mengalami gangguan, mungkin," kata psikolog seksual Zoya Amirin pada Tempo melalui sambungan telepon, Senin, 18 November 2013.
Menurut Zoya, dalam kultur masyarakat monogami, setiap orang dituntut untuk setia dengan pasangan. Masalahnya, ada sebagian orang yang tidak puas dengan pasangan dan ingin mencari kesenangan dengan variasi lain. Diantara variasi yang diambil adalah berselingkuh. "Tapi kalau selingkuh kan capek, sembunyi-sembunyi. Akhirnya mereka membujuk istri untuk swinger dengan pasangan lain," kata Zoya.
Para pelaku swinger, kata Zoya, dikenal sangat eksklusif. Mereka hanya mau melakukan tukar-menukar dengan pasangan suami-istri yang sah. Itu dibuktikan dengan surat nikah. "Mereka tidak mau kalau itu istri siri," kata dia.
Zoya menerangkan, dari saling tukar-menukar pasangan ini, apa yang didapat dari pelaku swinger adalah quick gratification atau gratifikasi kilat. Mereka mendapatkan kesenangan seksual dari tukar-menukar pasangan suami-istri. Sebenarnya tindakan itu, kata dia, menunjukan adanya gangguan dalam hubungan suami-istri. Sayangnya, penyelesaian dari gangguan itu dilakukan dengan cara swinger.
AMIRULLAH
Berita lainnya:
Lipstik Bisa Mengandung Delapan Logam Berbahaya
Lagi Mejeng di Skype, Remaja Ini Tewas Overdosis
Goyang Zumba ala Liza Natalia
Tempat Kongko Ini Bertahan Bertahun-tahun
Material Transparan Tren Mode Tahun Depan