TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Syafrudin, membenarkan ada pungutan yang tidak sesuai dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian jasa kolportir (uang komisi) kepada pegawai Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia. Sebab itulah, kejaksaan agung melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Meningkatkan status kasus ke penyidikan, kata Syafrudin, adalah sebagai langkah agar kejaksaan bisa leluasa menyita dokumen dan memanggil saksi." Belum ada tersangka karena masih penyidikan umum," kata Syafrudin di kantornya, Selasa 19 November 2013. (Baca: Pengusutan Korupsi Kolportir TVRI Dipertanyakan)
Dalam penyidikan yang dilakukan, kata Syafrudin, terbukti ada perbuatan melanggar ketentuan, tapi tidak menyebabkan kerugian negara. "Negara enggak rugi, ini kan mengutip dari uang jasa, dan sudah dikembalikan sebelum penyidikan," kata Syafrudin.
Sanksi untuk para pelaku dan penerima uang jasa kolportir ini, Syafrudin melanjutkan, diserahkan pada pihak internal LPP TVRI. "Itu sudah bukan kewenangan kami lagi," kata dia.
Dari dokumen yang diperoleh Tempo, Kejaksaan Agung telah memanggil delapan saksi untuk penyidikan kasus jasa kolportir. Kedelapan orang yang berstatus sebagai saksi tersebut dipanggil 6 Juli 2011 lalu. (Baca: Kontrak Liga Italia di TVRI Langgar Aturan)
Pemberian jasa kolportir pada LPP TVRI ini terjadi pada Juli 2007 sampai November 2008. Penerimaan dana kas pegawai TVRI dari iklan serta penyewaan pemancar dan aset pada periode tersebut sebesar Rp 61 miliar. Dari jumlah tersebut, dilakukan pengeluaran dana dari kas TVRI sebagai komisi jasa kolportir sebesar Rp 6 miliar. (Baca: Kontrak Liga Italia di TVRI Langgar Aturan)
Kemudian, dana tersebut diberikan kepada sejumlah pegawai TVRI--berstatus pegawai negeri sipil--yang ditunjuk sebagai petugas pemasaran. Dari aktivitas pemasaran itulah mereka menerima duit jasa kolportir, yang akumulasinya sebesar Rp 4 miliar. Sisanya dimasukkan sebagai dana kas pegawai. Pengeluaran dana dari kas didasarkan pada surat keputusan Direktur Utama TVRI kala itu (I.G.N. Arsana) yang diduga menyalahi undang-undang, sehingga dianggap perbuatan melawan hukum. SK serupa masih dilanjutkan saat Immas Sunarya menjabat Direktur Utama pada 2010.
Pelanggaran undang-undang ini dibenarkan dalam temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Tahun Anggaran 2010 dan Semester I 2011 LPP TVRI. Pada temuan tersebut, BPK menyebutkan, pembayaran jasa kolportir kepada account executive atau petugas penjualan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (Baca: Kasus Program TVRI, 17 Orang Diperiksa Kejaksaan)
TRI ARTINING PUTRI
Berita populer:
TKI Dapat Warisan Rp 9,5 Miliar dari Majikannya
Survei: Tokoh Islam Tak Mampu Saingi Jokowi
Singapura Turut Bantu Australia Sadap Indonesia
Aburizal Bakrie Menjawab Soal Operasi Dagu