TEMPO.CO, Surabaya - Bambang Dwi Hartono mengatakan telah menyampaikan kasus dugaan korupsi jasa pungut yang tengah membelitnya kepada partainya, PDIP. "Induk organisasi tahu kinerja saya. Tidak ada niatan, katakanlah, menyelewengkan keuangan negara, menyalahgunakan wewenang," kata Bambang, Kamis, 28 November 2013. Menurut Bambang, partai memahami hal ini.
Penyidik Sub-Direktorat III Tindak Pidana Korupsi Kepolisian Daerah Jawa Timur telah menetapkan mantan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya ini sebagai tersangka kasus gratifikasi dengan nilai kerugian negara Rp 720 juta ini. "Ini tahun politik. Mungkin ada proyek tebang pilih atau apa, saya enggak tahu," ujar Bambang.
Menurut dia, jasa pungut itu diusulkan oleh pimpinan DPRD Kota Surabaya. Rujukannya adalah jasa pungut untuk DPRD Jawa Timur. Akan halnya DPRD Kota Surabaya tidak mendapat jasa pungut. "Itu disampaikan Ketua DPRD Musyafak Rouf kepada Asisten II, Pak Muchlas, dan Pak Purwito selaku Kepala Badan Pengelola Keuangan, kemudian diteruskan kepada Sekda."
Ketiganya menyampaikan secara khusus kepada Bambang. Bambang setuju selama ada dasar hukum dan uangnya. "Dari proses itu terjadi pemberian uang jasa pungut."
Namun kemudian muncul konflik internal di Partai Kebangkitan Bangsa. Wahyudi melaporkan Musyafak, dan berkembanglah kasus itu. Sejak kasus itu berkembang dan mulai penyidikan, kata Bambang, uang langsung selamatkan. Ia mempertanyakan mengapa hanya Kota Surabaya yang dipersoalkan, sementara provinsi yang menerapkan hal yang sama tidak diperkarakan.
Tidak semua DPRD menerima jasa pungut. Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Lumajang, Rochmaniyah, saat dihubungi Tempo mengatakan tidak ada jasa pungut untuk DPRD Lumajang. Rochmaniyah lebih menyebutnya sebagai insentif. "Kami akan menerapkan jika ada payung hukumnya. Kalau tidak ada, ya, tidak berani."
DAVID PRIYASIDHARTA