TEMPO.CO, Surakarta - Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti menilai banyak pihak tidak paham dengan keberadaan Undang-Undang nomor 24 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran. Dalam UU tersebut ada mekanisme ihwal merespons keluhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan oleh dokter dan rumah sakit.
"UU Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa jika ada ketidakpuasan masyarakat terhadap dokter, ditangani Majelis Kehormatan," katanya seusai sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional di Rumah Sakit Ortopedi Dr. R. Soeharso di Surakarta, Sabtu, 30 November 2013 siang.
Majelis Kehormatan ada dua, yaitu Majelis Kehormatan Etika Kedokteran dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dia mengatakan mereka yang masuk dalam tim adalah pihak ketiga yang netral dan otonom, tapi mengetahui secara persis soal keluhan dan bisa melakukan penilaian. "Apakah seorang dokter melanggar kode etik, melanggar disiplin, melakukan malpraktek, atau kelalaian," ucapnya.
Dia menilai semestinya kasus yang menimpa dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani dan kawan-kawan berhenti di Majelis Kehormatan dan tidak sampai masuk ranah pidana. "Kasus Ayu tidak memanfaatkan MKDKI. Ini masalahnya. Tim independen yang sudah dibentuk belum dimanfaatkan," katanya.
Ali berdalih Kementerian Kesehatan dan Dewan Perwakilan Rakyat sudah menyusun mekanisme yang tepat jika ada ketidakpuasan terhadap dokter. "Tapi ternyata belum dipahami. Padahal ini amanat wakil rakyat dan pemerintah," ucapnya.
Dokter Ayu dan dua koleganya, dokter Hendry Simanjuntak, dan dokter Hendy Siagian divonis 10 bulan penjara oleh Mahkamah Agung karena melakukan malpraktik, yang menyebabkan pasiennya meninggal.
UKKY PRIMARTANTYO