TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa kekerasan Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) di Provinsi Aceh pada Mei 1999 memakan banyak korban. Tragedi ini terjadi di Simpang KKA, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Tragedi berdarah ini berawal dari isu hilangnya seorang anggota TNI Detasemen Rudal 001/Lilawangsa pada 30 April 1999. Atas peristiwa itu, militer lantas menyisir rumah-rumah warga di Cot Murong yang dituduh menyembunyikan anggota mereka.
Rupanya, saat proses pencarian, militer melakukan kekerasan terhadap sekitar 20 warga. Tidak terima atas tindakan tersebut, warga kemudian berunjuk rasa di Simpang KKA. Tak disangka, aksi protes warga disikapi aparat TNI satuan Detasemen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti dengan menembak warga yang tengah melakukan protes itu di Simpang KKA pada 3 Mei 1999.
Inilah pengakuan Muratullah, 48 tahun, salah seorang warga Aceh yang mengalami kejadian tragis itu. Muratullah mengungkapkan itu dalam forum dengar kesaksian korban yang diselenggarakan oleh Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran pada Selasa, 26 November 2013.
Muratullah mengisahkan pengalamannya. Saat terjadi penembakan itu, Muratullah selamat. Namun, pengalaman mendengar tembakan dan teriakan kematian membuatnya trauma. "Waktu itu, 156 orang luka-luka, termasuk saya. Abang saya meninggal karena kena tiga peluru di perut," ujar Muratullah.
Kekerasan terhadap warga itu dilakukan oleh TNI satuan Detasemen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti dengan memberondong tembakan ke arah warga di Simpang KKA. Pada 2000 Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh dibentuk untuk menyelidiki persitiwa tersebut.
Tidak banyak yang tersisa dari tragedi itu bagi Muratullah. Ia hanya berharap pemerintah melakukan reparasi korban yang hingga kini masih mengalami trauma. "Hak saya sebagai korban yang trauma bagaimana? Juga keluarga korban lain yang hari ini memerlukan pendidikan," ujarnya.
NURUL MAHMUDAH