TEMPO.CO, Surabaya - Anggota Komite Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas Bumi Ibrahim Hasyim mengungkapkan BPH Migas tengah menyiapkan aturan baru ihwal pemberian rekomendasi agen dan penetapan ongkos angkut bahan bakar minyak di daerah. Penyalur resmi nantinya bisa menunjuk agen yang berbeda untuk melayani kebutuhan BBM bersubsidi bagi nelayan, petani, industri, ataupun rumah tangga yang sulit dijangkau.
Selama ini, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2002, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menetapkan agen sebagai perpanjangan tangan penyalur resmi.
Menurut Ibrahim, BPH Migas juga telah membentuk satuan tugas BBM yang melibatkan berbagai unsur untuk melakukan pengawasan distribusi di daerah kepulauan. Pengawasan ini dilakukan secara tertutup dan diam-diam.
Diakui Ibrahim, kasus penyelewengan BBM memang sulit dibuktikan. Karena itu, pelaku harus tertangkap tangan sehingga proses pembuktian bisa lebih mudah.
Sebelumnya, sejumlah bupati mengajukan revisi Undang-Undang Migas agar tidak menyulitkan pendistribusian BBM ke kepulauan. Salah satunya, Bupati Sumenep. Belakangan, warga Kepulauan Masalembu mengeluhkan kelangkaan BBM. Daerah kepulauan juga rentan terhadap penyelewengan BBM yang berakibat pada berkurangnya pasokan sehingga membuat harganya melambung tinggi.
Ibrahim mengatakan penyelewengan distribusi BBM di daerah kepulauan disebabkan oleh disparitas harga yang terlampau tinggi. Ibrahim mencontohkan solar dan minyak tanah yang justru masih dijual murah dibandingkan harga Premium.
Menurut dia, jika harga solar dinaikkan Rp 1000, pemerintah bisa menghemat Rp 15 triliun. Karena itu, BPH Migas menyarankan adanya harmonisasi harga sehingga bisa menekan defisit anggaran dan meminimalisasi penyelewengan.
Distribusi BBM di daerah berbasis kepulauan kecil dan pedalaman memang masih menuai masalah. Apalagi didukung dengan otonomi daerah yang membuat kabupaten memiliki kewenangan masing-masing. Infrastruktur yang kurang memadai juga menjadi faktor pendukung.
AGITA SUKMA LISTYANTI