TEMPO.CO, Jakarta - Pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama Satrya Langkun, mengatakan penegak hukum harus melakukan terobosan dalam kasus pemberian gratifikasi berupa layanan seksual. Tama mengatakan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan hal ini.
"Undang-undang mendefinisikan gratifikasi secara luas sekali, bukan cuma uang dan barang. Menurut saya, karena undang-undang ini mengantisipasi perkembangan beberapa tahun ke depan," kata Tama di Jakarta, Jumat, 6 Desember 2013.
Undang-undang, di antaranya, mengatur soal pelaporan, penyerahan, dan pembuktian dalam kasus gratifikasi. Namun, pada kasus gratifikasi seks, menurut Tama, penyidik cukup fokus pada pembuktian dan bisa mengesampingkan pelaporan.
"Kalau pelaporan dan penyerahan, memang akan banyak persepsi. Misalnya, apa pekerja seksnya diserahkan. Kan sulit. Tapi, kalau pembuktian bahwa ada gratifikasi, itu bisa dibuktikan," kata Tama.
Lebih jauh, Tama menjelaskan, pembuktian gratifikasi seksual bisa melalui kesaksian atau alat bukti lainnya. "Misalnya, SMS ajakan, tawaran, atau perjanjian soal gratifikasi seks ini. Kan bisa jadi bukti," kata Tama.
Sebelumnya diberitakan, sejumlah tersangka koruptor disebut menerima gratifikasi seks. Politikus PDI Perjuangan Izederik Emir Moeis, misalnya, diduga mendapat layanan seks di Paris dari Alstom Power Inc. Alstom diduga menyuap Emir agar perusaannya dimenangkan dalam tender PLTU Tarahan, Lampung. Hakim PN Bandung, Setiabudi, juga mendapat gratifikasi seks dari mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada untuk mempengaruhi putusan perkara korupsi dana bantuan sosial di Bandung.
BERNADETTE CHRISTINA MUNTHE