TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia mencoba menengahi kontroversi mengenai kehalalan obat antara Kementerian Kesehatan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Caranya, dengan segera memanggil Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kementerian Kesehatan dan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM). Ombudsman akan menjelaskan jangkauan layanan administratif kedua lembaga tersebut terhadap keamanan dan kehalalan produk makanan dan farmasi.
"Ini terkait dengan pengaduan masyarakat soal produk makanan dan farmasi yang telah membanjiri pasar, serta aspek pengawasannya oleh instansi pelayanan publik terkait," kata anggota Ombudsman Bidang Pencegahan, Hendra Nurtjahjo, dalam siaran persnya, Sabtu, 7 Desember 2013.
Menurut dia, pemanggilan dua lembaga yang bertikai itu disebabkan sikap Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang menolak sertifikasi halal produk farmasi pada Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. "Kami menyayangkan sikap Menteri Kesehatan yang terlalu terburu-buru menolak sertifikasi tersebut. Hal ini dapat memicu reaksi keras dari publik," kata Hendra.
Ia berpendapat, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh informasi komposisi suatu produk, baik makanan maupun obat-obatan. Dengan begitu, publik bisa tahu apakah suatu produk mengandung gelatin babi atau tidak.
Hendra mengatakan sudah saatnya LPPOM dan BPOM Kementerian Kesehatan bekerja sama dalam satu platform keselamatan dan kepentingan publik dari produk tidak halal, khususnya bagi masyarakat muslim. "Kementerian Kesehatan tidak boleh menyatakan bahwa persoalan halal-tak halal bukan urusannya. Ini bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga menyentuh soal keimanan masyarakat muslim," kata Hendra.
Dia mendesak negara mengambil tanggung jawab penuh untuk keamanan produk. "Tidak hanya dari segi kesehatannya, tetapi juga dari segi kehalalannya," kata Hendra.
RIZKI PUSPITA SARI