TEMPO.CO, Malang-Sosok penyair yang hilang, Wiji Widodo alias Wiji Thukul, serasa hadir lewat penampilan dua anaknya, Ngantiwani dan Fajar Merah, di acara pembukaan museum hak asasi manusia Omah Munir di Jalan Bukit Berbunga, Kota Batu, Jawa Timur, pada Minggu, 8 Desember 2013. Kehadiran anak Wiji Thukul dan Dyah Sujirah alias Sipon ini atas permintaan panitia pembukaan Omah Munir.
Ngantiwani membacakan puisi karya sang ayah yang berjudul Derita Sudah Seleher dengan diiringi petikan gitar oleh Fajar. Seluruh puisi berisi kritikan terhadap kelaliman rezim Orde Baru. Saking menghayatinya, Ngantiwani sampai meneteskan air mata. Suasana sempat menghening. “Kami selalu teringat Bapak yang hilang dan sampai sekarang kami merasa Bapak masih hidup,” kata Ngantiwani.
Ngantiwani menegaskan bahwa dia dan adiknya berkewajiban meneruskan perjuangan Wiji Thukul. Mereka percaya sang bapak hilang, masih hidup, dan suatu saat kembali. Mereka menolak menyatakan sang bapak sudah meninggal karena jasadnya tak pernah ditemukan.
Menurutnya, Wiji Thukul dihilangkan. Apa yang diperbuat Pemerintah Orde Baru dampaknya tidak berhenti pada aktivitas yang dihilangkan, tapi juga kepada keluarga. Banyak keluarga teringat, sakit, dikucilkan karena orang yang disayangi dilecehkan oleh negara. “Kami tidak lupa, kami akan mengajak teman kami yang masih hidup, merasakan, bahwa Wiji Thukul itu orang benar yang dihilangkan karena penguasa merasa takut akan kata-katanya,” tutur Ngantiwani.
Suasana sempat menghening sebentar. Lalu hadirin memberikan tepuk tangan meriah saat lantang Fajar menyanyikan, “Darah sudah kau teteskan/kau teteskan dari bibir/cahaya sudah kau rampas/kau rampas dari mataku.”
Selain anak Wiji Thukul, pembukaan Omah Munir juga dimeriahkan oleh penampilan grup Symphonii, grup band yang tampil dalam film Kita versus Korupsi (KvsK) yang diproduksi Komisi Pemberantasan Korupsi, dan wakil dari Navicula. Lewat lagu-lagunya, mereka mengkritik mafia hukum, merajalelanya korupsi, dan penguasaan sumber daya alam oleh pihak asing.
Omah Munir merupakan museum HAM pertama di Indonesia yang berlokasi di Jalan Bukit Berbunga, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Sesuai namanya, museum ini didedikasikan untuk mengenang dan merawat perjuangan Munir Said Thalib, pejuang HAM asal Kota Batu, yang lahir pada 8 Desember 1965 dan meninggal karena diracun pada 7 September 2004. Peresmian Omah Munir dilakukan bertepatan dengan ulang tahun Munir ke-48.
Acara pembukaan Omah Munir dihadiri sekitar 500 orang dari berbagai kalangan, seperti aktivis HAM, akademisi, mahasiswa, seniman, dan politikus. Selain Lukman dan Faisal, hadir pula antara lain aktivis HAM Usman Hamid; Wakil Wali Kota Batu Punjul Santoso; Wakil Wali Kota Malang Sutiaji; bekas Hakim Konstitusi yang juga Dewan Pengawas Omah Munir, Abdul Mukthie Fadjar, serta Anggota Komisi Nasional HAM Roichatul Aswidah. Sedangkan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko datang saat pintu Omah Munir dibuka dan isinya dipamerkan.
ABDI PURMONO