TEMPO.CO, Jakarta - Tabrakan antara kereta Commuter Line dengan truk tangki di Bintaro pada Senin, 11 Desember 2013 lalu hanya menjadi satu dari sekian banyak kecelakaan yang terjadi di lintasan sebidang. Kecelakaan pasti akan selalu terjadi selama lintasan kereta berpotongan dengan jalan. Apalagi banyak pengemudi kendaraan yang sering mengabaikan aturan lalu lintas.
Direktur PT KAI Commuter Jabodetabek, Tri Handoyo, mengatakan pembangunan terowongan dan jalan layang menjadi solusi terbaik untuk menekan angka kecelakaan. Berikut petikan wawancara dengan Tri Handoyo:
Tempo (T): Setelah terjadi kecelakaan di Bintaro kemarin, apakah ada evaluasi yang dilakukan PT KCJ supaya penumpang kereta lebih aman?
Tri Handoyo (TH): Sebetulnya tidak banyak yang diubah. Soalnya ini bukan (manajemen) kereta yang salah. Kami sudah punya mekanisme dan aturan supaya perjalanan kereta berjalan dengan aman.
T: Penggunaan pintu palang dan sirine di pintu lintasan kereta, bukankah itu seharusnya bekerja secara otomatis jika ada kereta yang akan melintas?
TH: Yang wajib dimiliki perlintasan resmi hanya rambu wajib setop berwarna kuning. Palang dan pintu itu bukan rambu, hanya penanda. Tujuannya juga sebenarnya untuk mengamankan perjalanan kereta, bukan untuk kendaraan yang lewat di sekitar rambu itu.
Ini kan masalah dasar tentang rambu lalu lintas. Kalau Anda di jalan raya dan melihat ada rambu dilarang setop, apa perlu kami memasang paku supaya kendaraan tidak berhenti di sana? Kan, bukan begitu.
Jadi, kecelakaan ini bukan karena keretanya salah atau laju kereta yang terlalu cepat. Ini terjadi karena ada pelanggaran aturan lalu lintas. Kalau ada rambu wajib setop ya seharusnya berhenti. Untuk kecelakaan di perlintasan liar juga di luar tanggung jawab kami. Kenapa membuat perlintasan ilegal? Kenapa lewat di jalur itu?
T: Bagaimana dengan perlintasan sebidang, apakah mendesak untuk segera membangun flyover dan underpass?
TH: Ya, kami sudah sampaikan bahwa itu perlu dibangun. Kejadian ini (tragedi Bintaro II) membuktikan bahwa ada perlintasan sebidang itu sangat berbahaya. Sampai ada tujuh nyawa yang hilang seperti ini sangat menyedihkan.
T: Apa ada pengaruhnya antara keberadaan perlintasan sebidang dengan operasi KRL?
TH: Sebenarnya tidak ada hubungannya dengan operasi kereta. Ada flyover atau tidak, kereta tetap jalan. Kami sudah ada mekanisme dan peraturan supaya kereta berjalan dengan aman. Dalam Undang-undang Perkeretaapian, perjalanan kereta api harus selalu didahulukan.
Dalam menentukan frekuensi perjalanan, kami juga tidak memperhitungkan kemacetan yang timbul di perlintasan sebidang. Pertimbangan kami hanyalah beban listrik aliran atas (LAA) karena menanggung sekian banyak perjalanan kereta. Kalau kemudian lalu lintas di sekitarnya menjadi macet, itu konsekuensi.
T: Proses perbaikan pascakecelakaan Senin lalu bagaimana?
TH: Tiang listrik aliran atas kemarin roboh, tetapi sudah bisa berjalan. Kereta sudah bisa berjalan (melintas di lokasi kecelakaan) sejak (Selasa, 10 Desember 2013) jam 11.WB. Kedua jalur kereta sudah bisa digunakan dengan kecepatan 70 kilometer perjam. Tetapi memang jadwal pengangkutannya belum normal karena praktis ada satu rangkaian yang tidak bisa digunakan karena kabin masinisnya rusak.
T: Kapan bisa normal?
TH: Kami harap bisa normal setelah rangkaian seri 205 yang baru didatangkan dari Jepang beroperasi. Rencananya mulai dioperasikan 15 Desember di lintas Bogor-Kota dan Bogor-Tanah Abang.
Tadinya kedua rangkaian 205 yang sudah siap akan dioperasikan di Bogor. Namun, karena kejadian ini kami sedang mengevaluasi apakah bisa digunakan untuk lintas Serpong. Kami masih menilai apakah listrik aliran atas dan wesel di sana siap untuk mengoperasikan kereta 205.
Rangkaian ini kan terdiri dari 10 kereta, jadi memerlukan listrik yang lebih besar meskipun satu keretanya tetap standar, membutuhkan listrik 1.500 volt dc. Jarak antara ujung stasiun dengan wesel untuk berpindah jalur juga harus lebih panjang karena ini dua gerbong lebih panjang dibandingkan dengan kereta yang lama.
T: Apakah sudah ada hitungan kerugian akibat kecelakaan ini?
TH: Belum ada. Kalaupun ada, kerugian materil itu kecil sekali dibandingkan dengan tujuh nyawa yang hilang. Kami tidak mau menghitung-hitung kerugian dalam suasana duka seperti ini. Biar kita hormati korban yang meninggal dalam kecelakaan ini.
T: Sudah ada pembicaraan dengan Pertamina?
TH: Belum, sekarang kami fokus membereskan keperluan korban.
T: Uang santunan?
TH: Dari Jasa Raharja Rp 25 juta untuk setiap korban meninggal. PT KAI dan PT KCJ memberi santunan Rp 80 juta untuk pegawai kami dan Rp 40 juta untuk penumpang yang meninggal.
ANGGRITA DESYANI
BeritaTerkait:
INFOGRAFIS Kronologi Tragedi Bintaro
FOTO Sopir Truk Tragedi Bintaro Dirawat di RSPP
FOTO Bentuk Truk Tangki Usai Tertabrak KRL di Bintaro
Mengapa Masinis Kereta Bintaro Tak Mengerem?