TEMPO.CO , Jakarta:Dalam edisi Danau, Tim Tempo mengupas tentang tiga danau di Sulawesi Selatan: Matano, Mahalona, dan Towuti. Tiga danau yang masih alami ini saling terhubung oleh dua sungai. Salah satunya termasuk yang terluas di Indonesia.
Danau Matano terletak di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur. Desa Soroako, yang terletak di sisi barat danau, telah berkembang jadi kota modern yang rapi, terutama karena sebagian besar daerah ini dikelola PT Vale Indonesia Tbk (dulu PT Inco), perusahaan tambang nikel yang beroperasi sejak 1968. Rumah peristirahatan milik perusahaan berjejer di sepanjang tepi danau, termasuk lapangan golf.
Dengan kedalaman sekitar 500 meter, Matano menjadi danau terdalam di Asia Tenggara dan terdalam kedelapan di dunia. Danau ini tersambung melalui sungai dengan Danau Mahalona, dan Danau Towuti di bagian selatan. Towuti, yang luasnya, 561 kilometer persegi, merupakan danau terluas kedua di Indonesia. Ketiga danau ini terbentuk akibat kegiatan tektonik jutaan tahun silam.
Soroako dapat ditempuh dengan angkutan udara dan darat dari Makassar. Tim Tempo yang pergi ke sana memilih berangkat melalui jalur udara. Dari Kota Makassar, tim naik pesawat Fokker 50 milik Indonesia Air yang disewa Vale.
Satu jam kemudian, pesawat mendarat di Bandar Udara Soroako, tepat di seberang Terminal Soroako, tempat bus dari Makassar dan kota lain terparkir. Lantaran tak ada angkutan umum, tim pun naik ojek menuju sebuah hotel yang menghadap ke Danau Matano.
Dermaga Soroako menjadi gerbang utang menuju dua desa di seberang danau: Desa Matano dan Desa Nuha, Kecamatan Nuha.
Untuk mengunjungi beberapa lokasi di sekitar danau, Tim Tempo menggunakan sebuah ketinting (perahu bermotor). Ongkosnya sekitar Rp 400 ribu sehari penuh. Di tengah danau, ketinting pun berhenti. Saat merapat ke tebing karang yang dipenuhi semak belukar, terdapat gua di bawah air.
Tinggi lubang ini 10-15 meter. Gua itu kira-kira separuh luas lapangan badminton. Karangnya kebanyakan menonjol ke bawah. Airnya jernih, sehingga baying-bayang baru besar di dasar sana tampak jelas dari permukaan. Kolam itu hijau ditimpa cahaya matahari dari lubang tadi dan lubang kecil yang menghadap ke danau. Ini betul-betul gua rahasia. Kecantikannya hanya bisa dinikmati dengan memasukinya.
Hanya beberapa menit dari gua di bawah air, tim pun sampai di gua lain. Gua itu, seperti gua umumnya, kering dan berbatu. Tak seberapa luas, tapi ada tulang yang berserakan di situ. Penduduk sekitar menyebutnya Gua Tengkorak karena dulu banyak tulang-belulang manusia di sana yang konon sudah ada sejak masa pra-Islam.
Di Desa Mahalona, kurang dari sejam dari dermaga Soroako, kita bisa membasuh muka di Mata Air Bora-bora, yang letaknya hanya beberapa langkah dari tepi danau dan dasarnya sering mengeluarkan gelombang udara.
Desa itu dulu merupakan cikal-bakal Kerajaan Luwu dan penghasil besi terbaik di Nusantara. Hasil penelitian Australian National University menyebutkan desa itu sudah dihuni sekitar 2.000 tahun lalu dan tanahnya mengandung bijih besi. Besi dari desa inilah yang diperkirakan menjadi sumber bagi 'pamor Luwu', kandungan khas pada keris dari Luwu, yang sudah dikenal sejak zaman Majapahit.
Peneliti memperkirakan pengolahan besi besar muncul di Matano pada abad ke-15 dan ke-16. Menurut sesepuh desa dan mantan prajurit Darul Islam pimpinan Kahar Muzakkar, Dewi, di wilayahini dulu ada 40 tempat pandai besi yang membuat senjata dan meriam. Namun ketika Belanda masuk, semua tempat pengolahan besi dan senjata disita. Masyarakat juga dilarang mengolah bijih besi. Penduduk desa itu kemudian hanya berkebun cokelat dan merica. Hingga kini.
TIM TEMPO | SUTJI
Berita Terkait
Plawangan, Pintu Sebenarnya menuju Rinjani
Torean, Pendakian Jalur Suci menuju Rinjani
Pasir Putih dan Air Bening di Pantai Koka
Cubadak, Surga Italia di Selatan Sumatera Barat
Tanjung Tinggi, Bilik-bilik Laskar Pelangi