TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan dirinya mendengar ada pihak yang mengaitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan Undang-Undang Pemilihan Presiden yang tengah di-judicial review di Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, dugaan itu tidak beralasan.
"Saya percaya kepada MK, lembaga terhormat yang tentu tidak mencampur-adukkan apa pun," ujar Yudhoyono di Gedung Sasana Kriya Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Rabu, 18 Desember 2013.
Yudhoyono mengaku terus mengikuti dengan saksama perbincangan politik akhir-akhir ini mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi. Namun, dia mengaku memilih diam dalam menyikapi perbincangan itu.
"Saya lebih memilih untuk diam agar politik kita tetap stabil, karena saya percaya rakyat kita juga cerdas, rakyat juga mengikuti, rakyat kita juga berharap politik di negeri ini semakin baik."
Dia mengatakan, masalah perpu dan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review atas UU Pilpres adalah sesuatu yang terpisah. "Perpu, perpu. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review tentang (UU) Pilpres itu sesuatu yang lain," kata SBY.
Sebagai Presiden, ucap SBY, setiap ada putusan MK, ia selalu menjalankannya. "Tidak ada satu pun putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak saya jalankan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan," ujarnya. "Tetapi tentu menjadi harapan rakyat Indonesia supaya tidak ada pencederaan terhadap kehidupan politik dan demokrasi kita, maka tentunya kabar yang saya terima itu saya yakin tidak benar dan tidak akan terjadi," dia menambahkan.
Hingga saat ini pandangan fraksi partai koalisi di Komisi Hukum DPR masih terbelah ihwal Perpu MK. Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Amanat Nasional sepenuhnya menerima peraturan itu. Sedangkan Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera perlu membahas lagi di dalam fraksi karena masih ada pasal yang dipermasalahkan.
Adapun peraturan itu memiliki tiga substansi utama. Pertama, untuk mendapatkan hakim konstitusi yang baik, ada perubahan dalam persyaratannya sesuai Pasal 15 ayat 2 huruf i. Syaratnya, seseorang tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.
Kedua, Perpu MK memuat penyempurnaan mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi. Untuk itu, sebelum ditetapkan oleh Presiden, calon hakim konstitusi yang diajukan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden didahului oleh proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan panel ahli.
Panel ahli ini adalah satuan yang dibentuk oleh Komisi Yudisial yang beranggota tujuh orang. Mereka terdiri atas satu orang yang diusulkan Mahkamah Agung, satu dari DPR, satu dari Presiden, dan empat lainnya dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat. Empat orang yang diusulkan masyarakat ini terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademikus bidang hukum, dan praktisi hukum.
Substansi ketiga dari Perpu MK menyinggung perbaikan sistem pengawasan supaya lebih efektif. Caranya, dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat permanen. Majelis Kehormatan ini nantinya akan dibentuk bersama oleh Komisi Yudisial dan MK. Majelis beranggota lima orang, yaitu seorang mantan hakim konstitusi, seorang praktisi hukum, dua akademikus yang salah satu atau keduanya berlatar belakang hukum, dan satu tokoh masyarakat.
PRIHANDOKO
Topik Terhangat:
Atut Tersangka | Mita Diran | Petaka Bintaro | Sea Games | Pelonco ITN
Berita Terpopuler:
Atut Tersangka, Pegiat Antikorupsi Gunduli Kepala
Dua Puluh Penyidik KPK Geruduk Rumah Atut
Pendekar Berbaju Hitam Datangi Rumah Atut
Fikri Menjahit Sarung Sebelum Tewas di Pelonco ITN
Jadi Tersangka, Atut Tak Langsung Ditahan