TEMPO.CO , Banda: Pernah jadi tempat pembuangan Muhammad Hatta dan Sutat Sjahrir, Banda-Neira masih menyimpan tempat-tempat bersejarah. Dua puluh lima meter dari pelabuhan terdapat Rumah Budaya Banda Neira. Di museum itu tersimpan berbagai jenis peninggalan jaman kolonial. Mulai dari meriam berbagai ukuran hingga tembikar. Tim Tempo (penulis Agung Sedayu dan fotografer Ayu Ambong) mengunjungi lokasi itu pertengahan Oktober lalu.
Di samping kanan bangunan itu terdapat rumah pengasingan Sjahrir. Rumah bergaya Indis yang memadukan arsitektur kolonial dan tropis ini memiliki langit-langit tinggi dengan enam tiang penyangga berbetuk bulat, bercendela besar, dan beratap agak curam. Ruang utamanya luas diapit kamar tidur dan ruang kerja. (baca:Cara Hatta-Sjahrir Tanamkan Patriotisme di Banda)
Di sana terdapat gramofon kuno lengkap dengan piringan hitam berlabel Daphnis dan Chloe Suite Symphonique produksi Columbia. Kamar Sjahrir menyimpan lemari kayu berisi sejumlah buku catatan, alat tulis, pakaian, hingga surat pengangkatan Sjahrir sebagai perdana menteri oleh Presiden Soekarno. Di ruang kerja, tersimpan mesin ketik antik Underwood. Di sekitar rumah Sjahrir berderet bangunan-bangunan berarsitektur serupa. Salah satunya adalah bagunan bekas rumah Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen.
Tidak jauh dari sana, dengan jalan kaki saya butuh sekitar 10 menit, terdapat rumah pengasingan Hatta. Rumahnya besar terdiri dari bangunan utama di depan dan bangunan tambahan di belakang. Hatta menyewa rumah itu dari Belanda pemilik perkebunan pala bernama de Vries senilai 10 gulden. De Vries bersedia menyewakan rumah itu dengan harga murah karena konon berhantu. “Tapi ternyata tidak ada,” kata Meutia Farida Hatta Swasono, anak Wakil Presiden Indonesia pertama itu, pada Tempo. Tempo bertemu Meutia secara tak sengaja saat berkunjung ke Banda-Neira.
Di ruang kerja Hatta terdapat meja tua lengkap dengan mesin ketik antik. Di ruangan itu dulu Hatta biasa membaca majalah atau mengetik artikel sambil menyeruput kopi tubruk. Ia mengirim tulisanya ke sejumlah media di Jawa atau Belanda. Majalah Sin Tit Po adalah salah satu media yang cukup sering memuat tulisan Hatta kala itu.
TIM TEMPO | AMIRULLAH