TEMPO.CO , Jakarta: Lokasi pengasingan Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir di Banda-Neira masih bisa ditemui hingga kini. Tim Tempo (penulis Agung Sedayu dan fotografer Ayu Ambong) mengunjungi situs-situs bersejarah itu pada pertengahan Oktober lalu. Kami bertemu dengan Meutia Farida Hatta Swasono, anak Wakil Presiden Indonesia pertama itu, dalam pertemuan tak terduga.
Dalam obrolan usai makan malam di Hotel Maulana, Meutia bercerita bahwa Hatta dan Sjahrir memiliki kebiasaan agak ekstrem selama di Banda. Mereka kerap berenang sekitar 300 meter menyeberang selat Neira dan kemudian langsung mendaki hingga puncak gunung api Banda. “Bapak kerap merenung di sana, pemandangannya indah,” ujar Meutia.
Penasaran, besoknya saya dan Ayu naik kole-kole, sebutan kapal kayu kecil di Banda, menyeberang selat Neira menuju gunung api Banda dan mendakinya. Gunung ini termasuk unik karena kakinya langsung berada di dasar laut. Ketinggiannya hanya sekitar 600 meter dari atas permukaan laut. Namun jalur pendakian curam dan licin berkerikil. Rata-rata dibutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk bisa mencapai puncaknya. Tepat jam 12 siang kami sampai di atas.
Tidak ada apapun di atas sana, selain terik matahari, bebatuan panas, dan cekungan bekas kawah yang masih mengepulkan asap belerang. Namun pemandangan dari sana luar biasa. Lautan Banda berkilauan bagai hamparan cermin raksasa lengkap dengan perahu nelayan dan gugusan pulau-pulau Banda di atasnya.
Saya membayangkan Hatta dan Sjahrir dulu duduk di puncak gunung ini, menatap ke bawah ke bentangan negeri yang indah namun masih terjajah, lantas mereka berdiskusi tentang masa depan Indonesia.
TIM TEMPO | AMIRULLAH