TEMPO.CO, Jakarta - Program pengurangan emisi berlabel Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dinilai sarat potensi korupsi. “Proyek ini lemah secara kelembagaan, sedangkan penegak hukum masih korup dan dikhawatirkan mudah menyeleweng,” kata Deputi Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia, Dedi Haryadi, dalam sebuah diskusi pengelolaan hutan di Jakarta, Ahad, 22 Desember 2013.
Menurut Dedi, program pemerintah itu memiliki anggaran jumbo yang melibatkan anggaran triliunan rupiah. Catatan TII menyebutkan, Indonesia berpeluang menggaet dana REDD+ hingga US$ 765 juta saban tahun dalam 4-8 tahun mendatang. Sejumlah donor berjanji mengucurkan dananya, antara lain Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia sebesar US$ 9,2 juta, Australia senilai lebih dari US$ 100 juta, dan Jerman US$ 92,6 juta.
Manajer Program Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis, Bernardinus Steni, menjelaskan dana REDD+ yang bernilai jumbo inilah yang berpotensi besar disalahgunakan pengelolanya. Terlebih, kata dia, pemilihan umum legislatif dan presiden bakal digelar kurang dari lima bulan lagi. "Harus diperiksa betul siapa yang dapat, jangan-jangan konstituen partai tertentu," ucap Bernardinus dalam kesempatan yang sama.
REDD merupakan skema untuk memberi imbalan bagi negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dengan menekan tingkat kegiatan deforestasi dan degradasi hutan. Pengurangan emisi ini diperhitungkan sebagai kredit karbon, yang diserahkan ke lembaga pendanaan untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara peserta yang melindungi hutannya. Sejak 31 Agustus 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah membentuk Badan Pengelola REDD+.
Bernardinus mengakui, pemerintah pusat telah memasukkan strategi untuk menangkal korupsi di REDD+, semisal dengan memperbaiki tata kelola kehutanan dan memastikan manfaat program dibagi adil kepada yang berhak. Namun, jaring pengaman serupa tak muncul dalam strategi di level provinsi. “Struktur lembaga pengelola dibentuk ala kadarnya tanpa desain yang memastikan kerangka pengaman sosial, termasuk pencegahan korupsi, berjalan,” katanya.
Untuk mengatasi peluang korupsi itu, Dedi menyarankan pemerintah memperbaiki tata kelola internal lembaga REDD+ dan lembaga yang relevan. Perlu pula ada perbaikan kualitas penegakan hukum di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, yang selayaknya dimulai dari sistem rekrutmen para pemimpinnya. Selain itu, kata Dedi, relasi kuasa dan informasi antara pemerintah, pebisnis, dan masyarakat sipil perlu dibenahi agar tak lagi timpang.
Kepala Badan Pengelola REDD+ Heru Prasetyo menyatakan, selama ada dana yang terlibat, apalagi dengan nilai besar, potensi korupsi pasti ada. Meski tak bisa 100 persen menyingkirkan peluang korupsi, Heru mengatakan, program kerja Badan Pengelola dirancang untuk memperkecil potensi itu dengan memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam semua kegiatan di pusat dan daerah.
"Salah satu syarat bagi tiap proyek REDD+ adalah keterbukaan informasi pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat yang melaksanakannya," ucapnya. Jika ada penyelewengan kewenangan ataupun dana, Heru berjanji langsung melaporkannya kepada penegak hukum agar menimbulkan efek jera. "Tidak akan dibiarkan, meski nilainya kecil."
BUNGA MANGGIASIH
Terpopuler
Tolak Mega-Jokowi, Kader PDIP Deklarasikan PROJO
Dua Hari Penahanan, Atut Nyapu dan Ngepel Lantai?
Ada Upaya Menjegal Rano Karno Menjadi Gubernur
Di Bursa Capres PDIP: Ongkos Politik Jokowi Murah
Ponsel Tercerdas Tahun 2013 Adalah...
Penguasa Dinasti Atut Chosiyah Berikutnya
SBY Tunjuk Rano Karno Lantik Wali Kota Tangerang
Hannah Al Rashid Kecewa Sistem Casting di Jakarta