TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Tata Usaha Negara mengabulkan gugatan dari tim advokasi Koalisi Penyelamatan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Keputusan Presiden Nomor 87/P Tahun 2013. Keputusan presiden (Keppres) tersebut tentang pengangkatan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar.
"Dalam pokok sengketa, mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya," kata anggota majelis hakim Teguh Satya Bhakti saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Senin, 23 Desember 2013.
Keppres 87/P Tahun 2013 tertanggal 22 juli 2013 berisi pemberhentian dengan hormat Achmad Sodiki dan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi, lalu mengangkat kembali Maria. Keppres itu mengangkat Patrialis Akbar untuk menggantikan Achmad. "Mewajibkan tergugat untuk mencabut Kepores RI No 87/P Tahun 2013 tertanggal 22 Juli 2013," kata dia.
Hakim juga mewajibkan tergugat atau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan keppres yang baru berdasarkan ketentuan perundang-udangan yang berlaku. "Serta menghukum tergugat dan tergugat dua intervensi untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini secara tanggung renteng sebesar Rp 162.000," ujar dia.
Hakim I Nyoman Harnanta menyebutkan bahwa tata cara pencalonan hakim MK tidak dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Berdasarkan Pasal 24 C ayat (3) UUD NKRI 1945 memberikan kewenangan kepada MA, DPR, dan presiden untuk mengusulkan masing-masing tiga orang calon hakim konstitusi.
"Namun, dalam praktek yang terjadi tidak demikian, sehingga berdasarkan fakta hukum dapat disimpulkan bahwa terdapat inkonsistensi dalam pemilihan dan pengangkatan hakim konstitusi yang diusulkan oleh presiden," ujar dia. (Baca: Mahfud: Dua Hakim MK Tak Sah).
Nyoman mengatakan, pengisian hakim konstitusi harus dilakukan secara transparan dan partisipatif, bukan penunjukan langsung melalui lembaga. "Maria dan Patrialis dilalui penunjukan langsung oleh Presiden," kata dia.
Untuk itu, kekurangan yuridisnya, kata Nyoman, karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 19 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, yang menggariskan bahwa dalam pencalonan hakim konstitusi harus dilakukan sacara transparan dan partisipatif.
Namun, terjadi disenting opinion (beda pendapat) oleh hakim anggota Elizabeth I.e.h.l. Ia menilai syarat transparansi dalam Pasal 19 hanya masalah isi yang harus dipublikasikan. Memang, kata dia, Presiden tidak melaksanakan publikasi ke media massa, tapi bukan merupakan tindakan maladministrasi.
"Tidak menemukan adanya cacat yuridis dalam penerbitan obyek sengketa, baik dari segi kewenangan dan prosedural substansial, dan dengan mempertimbangkan asas kepastian hukum," tutur dia.
LINDA TRIANITA
Baca juga:
PGI Nilai Yudhoyono Melanggar Konstitusi
Soal Wagub DKI, Tri Risma: Mendampingi Siapa?
Orang Dekat Anas Diincar Pengacara SBY
Loyalis Atut Ancam Jegal Rano Karno