TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiqie, menilai sikap Kementerian Dalam Negeri yang tetap akan melantik Hambit Bintih sebagai Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, karena akibat dari demokrasi yang hanya dipahami sebatas persoalan prosedur formal.
Menurut dia, pemahaman yang demikian sama sekali tidak mempedulikan integritas etika yang harus dimuliakan sebagai roh dari prosedur demokrasi. “Pemahaman demikian sama sekali tidak peduli dengan demokrasi yang berintegritas,” kata Jimly melalui pesan pendek, Rabu, 25 Desember 2013.
Status Hambit sebagai Bupati Gunung Mas, kata Jimly, memang baru bisa ditetapkan batal secara final ketika sudah resmi menjadi terdakwa. “Untuk pengamanan tokoh di setiap keputusan selalu ada kalimat bahwa keputusan akan diperbaiki sebagaimana mestinya jika....,” ujar dia.
Menurut dia, presiden yang berwenang menetapkan keputusan presiden (Keppres) pengangkatan Hambit Bintih sebagai Bupati Gunung Mas harus mengeluarkan Keppres pembatalan.
“Presiden bisa saja menetapkan kembali Keppres pembatalan hingga yang bersangkutan tidak perlu dilantik sampai ada putusan yang final dan mengikat atas kasusnya,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Seperti diketahui, Kemdagri telah menyampaikan surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melantik Hambit Bintih sebagai Bupati Gunung Mas.
Sebelum itu, Hambit telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK lantaran diduga menyuap Akil Mochtar ketika masih Ketua MK. Meski status Hambit sebagai tersangka, Kemdagri berdalih pelantikan ini merupakan hak konstitusional Hambit dengan pasangannya, Arton S. Dohong yang memenangi Pilkada Gunung Mas.
Saat ini, Hambit mendekam di Rumah Tahanan KPK di POM DAM Guntur Jaya, Jakarta Selatan. Menjelang pelantikan itu, muncul wacana Hambit akan tetap dilantik meskipun digelar di penjara.
LINDA TRIANITA