TEMPO.CO, Helsinki - Peneliti dari Aalto University di Finlandia memetakan emosi pada tubuh manusia. Mereka menemukan bahwa emosi bisa memicu sensasi kuat atau rasa hangat yang berbeda pada tubuh. Menurut citra hasil penelitian, tubuh manusia mengalami sensasi terkuat saat merasakan emosi kegembiraan dan cinta.
Pola sensasi emosi, yang dicitrakan terang-gelap pada tubuh seperti peningkatan suhu, ternyata berlaku konsisten bagi manusia dari berbagai latar belakang budaya, dari Eropa Barat hingga Asia Timur. Hal ini menunjukkan bahwa emosi dan pola sensasi pada tubuh yang mereka rasakan didasari oleh faktor biologis. Laporan penelitian ini dimuat dalam jurnal ilmiah Proceedings of the National Academy of Sciences, 31 Desember 2013.
Baca Juga:
Lauri Nummenmaa, psikolog dan asisten profesor di Aalto Univeristy mengatakan emosi bukan hanya mengubah mental melainkan juga kondisi fisik manusia. "Hal ini membuat kita punya reaksi berbeda terhadap bahaya dan interaksi sosial yang nyaman di lingkungan. Kesadaran terhadap perubahan situasi memicu sensasi emosi, misalnya perasaan gembira," kata Nummenmaa.
Dalam studi tersebut, tim yang dipimpin Nummenmaa memberi pertanyaan kepada 700 responden tentang apa yang dirasakan oleh tubuh mereka ketika emosi tertentu muncul. Para responden ini berasal Finlandia, Swedia, dan Taiwan. Mereka diberi gambar tubuh manusia dan diminta memikirkan 14 emosi seperti amarah, takut, muak, cinta, gembira, sedih, terkejut, bangga, netral, resah, depresi, jijik, malu, dan iri.
Mereka lalu diminta untuk mewarnai tubuh manusia di komputer, menandai bagian mana saja yang dirasakan aktif saat mengalami atau bercerita tentang emosi. Semakin terang warnanya, semakin kuat sensasi yang dirasa.
Baca Juga:
Responden menyebutkan bahwa emosi kegembiraan dan cinta memicu sensasi hampir di seluruh tubuh. Sementara depresi justru menurunkan tingkat aktivitas sensasi, membuat area di sekitar lengan, kaki, dan kepala terlihat suram dan gelap. Bahaya dan rasa takut memicu sensasi kuat di area dada. Sementara amarah mengaktifkan sensasi di lengan dan kepala.
Nummenmaa mengatakan sistem emosi di otak mengirim sinyal ke tubuh agar manusia bisa menyesuaikan diri dengan situasi. Nummenmaa mencontohkan, ketika manusia melihat ular dan merasa takut, maka sistem saraf meningkatkan asupan oksigen ke otot dan menaikkan detak jantung sehingga bisa menghadapi ancaman tersebut. "Itu sistem otomatis, kita tidak perlu berpikir untuk mendapatkan hal tersebut," katanya.
SCIENCEDAILY | NPR | GABRIEL TITIYOGA