TEMPO.CO, Jakarta - Bukan hal mudah memfilmkan Sukarno. Tokoh itu kaya warna, kaya faset. Setiap orang mungkin memiliki gambaran sendiri tentang Sukarno. Termasuk pada fase ketika Sukarno dianggap paling mewakili gelora revolusi Indonesia. Menentukan bagian sejarah mana yang dianggap paling menonjol untuk diangkat ke layar perak tentu bukan persoalan gampang.
Itulah yang dihadapi Hanung Bramantyo--sutradara yang memfilmkan KH Ahmad Dahlan dalam Sang Pencerah (2000). Tapi data tentang Ahmad Dahlan tentu tak sebanyak Sukarno. Tentang si Bung Besar, misalnya, ada Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Juga Soekarno: Founding Father of Indonesia karangan Bob Hering. Rachmawati Soekarnoputri pernah pula menulis Bapakku Ibuku. Sejumlah biografi tokoh menyebut juga sejarah Sukarno.
Menurut Hanung, awalnya film ini berdurasi empat jam. Ia lalu memerasnya hingga hanya 137 menit. Hanung menampilkan masa kecil Sukarno, pembuangannya di Bengkulu, masa Jepang, dan proklamasi.
Sutradara lain mungkin memfilmkan Sukarno pada periode proklamator itu dipenjara di Sukamiskin atau saat ia membacakan pleidoinya, “Indonesia Menggugat”. Sutradara lain barangkali menggarap era revolusi mempertahankan kemerdekaan di Yogyakarta. Namun, Hanung menitikberatkan proklamasi dan masa yang menjadikan Sukarno banyak dituding sebagai kolaborator Jepang.
Data mengenai Sukarno yang pro-Jepang ini diambil Hanung dari Soekarno 1901-1950 karya Lambert J. Giebels (1999). “Tidak mungkin saya mengada-ada,” kata Hanung. Dengan pendekatan ini, Hanung sesungguhnya sedang menawarkan diskusi soal fasisme Jepang dan kepemimpinan Indonesia.
Detik-detik proklamasi digambarkan Hanung terlalu “manis”. Dalam buku Giebels, misalnya, diungkapkan bahwa Sjahrir menyiapkan teks proklamasi tandingan yang sangat anti-Jepang meski teks itu tak dipakai. Pada alinea kedua proklamasi yang dibuat Hatta, terdapat “kekuasaan direbut dari tangan penguasa”--kalimat yang tak disetujui Laksamana Maeda.
Giebels menulis, Sukarno sesungguhnya meminta enam mahasiswa radikal ikut menandatangani teks proklamasi bersama dia dan Hatta. Namun, permintaan itu ditolak karena para pemuda menganggap teks proklamasi terlalu kompromis terhadap Jepang. Detail itu raib dalam film Hanung.
Meski banyak catatan, secara keseluruhan Soekarno berhasil menciptakan suasana haru. Di beberapa bagian, misalnya, diselipkan footage dokumenter Sukarno dalam sebuah aksi massa--sesuatu yang menguatkan adegan. Keputusan Hanung memilih zaman Jepang dan proklamasi mampu membuat Soekarno tak hilang fokus dan cerita mengalir lancar.
Soekarno adalah film yang bila kita pereteli bagian demi bagiannya mungkin memiliki kekurangan. Tapi secara keseluruhan--ketika hal-hal yang kurang itu dijadikan satu--hasilnya utuh dan menyentuh. Suara asli Sukarno membacakan naskah proklamasi di akhir film membuat karya Hanung ini makin menyengat. Inilah yang membuat Soekarno kami nilai lebih baik dibanding Belenggu, yang bagus tapi terkesan pretensius karena ingin terlalu noir.
RINA ATMASARI | MAJALAH TEMPO