TEMPO.CO, Jakarta - Markas Besar Polri menyebut buku Tadzkirah tulisan Abu Bakar Baasyir mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan hukum di Indonesia. Sebagai contoh, buku tersebut menyebut polisi dan pemerintah sebagai thaghut atau yang disembah selain Allah.
"Buku ini juga memberi pengaruh negatif bagi masyarakat," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Boy Rafly Amar dalam jumpa pers di kantornya, Jumat, 3 Desember 2013. (Baca: Baasyir Sebut Presiden Kafir)
Saat ini, dia melanjutkan, Polri sedang mendalami konten buku tersebut. Termasuk mencari tahu unsur pelanggaran hukum dalam buku tersebut. Buku Tadzkirah disusun Baasyir ketika ditahan di sel Badan Reserse Kriminal Mabes Polri pada November 2011.
Namun, Boy mengatakan penyidik belum akan memanggil dan memeriksa Baasyir terkait buku Tadzkirah. Polisi menduga buku tersebut tidak sepenuhnya dibikin oleh Baasyir. "Ada orang lain yang ikut bikin buku ini. Jadi, hasil pikiran Baasyir yang ditulis ulang. Sedang kami telusuri sejak kapan buku ini dibuat," kata Boy.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Sutarman mengatakan maraknya aksi perampokan untuk mendanai kegiatan terorisme, seperti yang dilakukan teroris Ciputat, disebabkan terputusnya pendanaan dari luar negeri. Di sisi lain, Sutarman mengatakan ada juga doktrin yang membenarkan perampokan untuk kegiatan ini.
"Tadinya dia merampok ragu-ragu. Supaya ada legalisasi, ada buku dari Abu Bakar Baasyir yang berjudul Tadzkirah, yang mengatakan merampok untuk kepentingan itu dihalalkan," kata Sutarman.
Mantan Kabareskrim ini mengatakan doktrin ini sangat berbahaya. Oleh karena itu, Kepolisian meminta agar para pemuka agama untuk meluruskan doktrin yang keliru ini. Sutarman juga berharap agar masyarakat Indonesia kritis terhadap doktrin yang membenarkan tindakan kejahatan untuk mencapai tujuan tertentu.
INDRA WIJAYA
Terkait:
Ucapan Baasyir Soal JIL sampai Presiden Kafir
Cara Teroris Himpun Dana untuk Bom
Jubir Baasyir Anggap Kapolri Tak Paham Tadzkirah
Ketika Baasyir Bicara Demokrasi dan Aristotele