TEMPO.CO, Jakarta - Hingga kini methylenedioxymethcathinone atau metilon masih belum masuk dalam daftar narkotik di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Itu sebabnya para pengguna dan pengedar metilon hingga kini sering berkelit dari dijerat hukum. Padahal, metilon memiliki efek seperti narkotik lain, bahkan lebih berbahaya.
Menurut ahli kimia farmasi, Mufti Djusnir, tingkat bahaya metilon masuk kategori level empat. "Bahayanya lebih tinggi dibanding ekstasi yang masuk kategori level tiga," ujarnya November lalu. Zat-zat di dalam pil itu berpengaruh kuat terhadap sistem pusat saraf manusia.
Si molly, sebutan gaul untuk pil metilon, bisa menimbulkan efek euforia atau rasa senang berlebih bagi penggunannya. Ia juga menciptakan efek halusinasi sekaligus memicu jantung untuk berkerja lebih cepat. "Efeknya lebih kuat daripada ekstasi," kata Mufti yang juga merupakan Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Namun, molly memiliki dampak yang sangat berbahaya bagi penggunanya.Tubuh yang penuh perasaan euforia terkadang sulit mengontrol rasa lain yang timbul. “Bisa saja pengguna tidak bisa merasakan sakit hebat akibat kram jantung karena tertutupi oleh rasa senang yang berlebihan,” katanya.
Di banyak negara, korban sudah berjatuhan. Seorang pemuda di Alaska, Amerika Serikat, bernama Matt Scott, 20 tahun, tewas setelah mengkonsumsi metilon pada April 2012.
TIM INVESTIGASI
Terkait:
Bagaimana Bandar Metilon Dijerat UU Narkotika
Yusril: UU Narkotika Harus Direvisi
Bahan Narkotika Jenis Baru Ada di Kalimantan
Malaysia, Pemasok Terbesar Narkotika Selundupan