TEMPO.CO , Jerussalem: Perundingan antara Israel dan Palestina kembali dilakukan sejak Agustus 2013 lalu, dengan mediasi Amerika Serikat, setelah mandeg selama tiga tahun. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry menjadikan penyelesaian konflik Israel-Palestina yang sudah berlangsung beberapa dekade itu sebagai prioritas utamanya.
Sejak dua tim melakukan negosiasi tahun lalu, perkembangannya masih belum menggembirakan. Dalam kunjungan ke Jerussalem dan Ramalah pada 3-5 Januari 2014 lalu, John Kerry mendorong percepatan pembahasannya agar bisa mencapai kesepakatan pada April mendatang. Di bawah ini adalah sejumlah isu krusial dalam perundingan perdamaian itu.
1. Status Yerusalem
Israel
Pemerintah Israel tidak bersedia membagi Yerusalem dan menjadikannya sebagai pusat politik dan keagamaan orang Yahudi. Dalam Undang Undang Dasar Israel tahun 1980 dikatakan, "Yerusalem, utuh dan menyatu, adalah ibukota Israel".
Palestina
Palestina menginginkan Yerusalem Timur, yang diduduki oleh Jordan sebelum dicaplok Israel dalam perang tahun 1967, sebagai ibukota negara Palestina. The Old City berisi tiga tempat paling suci dalam Islam, yaitu Masjid Al-Aqsa, dan Kubah Batu, di mana Nabi Muhammad dikatakan telah mengunjungi surga dengan kuda bersayap Burak-nya.
2. Perbatasan
Israel
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menerima kemungkinan bahwa harus ada negara Palestina dan akan ada penarikan mundur Israel dari bagian Tepi Barat (yang dicaplok oleh Israel tahun 1967) untuk mengakomodasi ini. Israel telah menarik pasukannya dan pemukimannya dari Gaza. Israel ingin perbatasannya memasukkan pemukiman Israel utama yang telah berkembang di Tepi Barat dan Yerusalem. Namun beberapa anggota sayap kanan kabinet Netanyahu dan Partai Likud tidak menerima ide solusi dua-negara dalam konflik dengan Palestina.
Palestina
Palestina ingin pembicaraan mulai dari posisi dasar bahwa tanah yang dicaplok oleh Israel tahun 1967 -Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza- merupakan milik Palestina di masa depan. Setiap tanah yang diberikan kepada Israel harus dikompensasi oleh pertukaran lahan yang seimbang.
3. Pemukiman
Israel
Pemerintah Israel sebelumnya telah bersikeras menjaga pemukiman utama Israel di Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Setiap kebijakan yang mengabaikan ini akan memecah koalisi yang membentuk pemerintah. Israel menolak untuk memperkenalkan kembali pembekuan parsial pada permukiman sebagai prasyarat untuk kembali ke perundingan. Moratorium terakhir pembangunan pemukiman berakhir pada 26 September 2010.
Palestina
Idealnya, Palestina ingin semua permukiman harus ditinggalkan jika berada di Gaza. Namun, mereka tampaknya menerima bahwa beberapa di antaranya tetap dipertahankan tetapi akan berdebat untuk jumlah minimum dan meminta pertukaran lahan untuk setiap yang tersisa. Mereka meninggalkan putaran terakhir pembicaraan perdamaian setelah moratorium pembangunan pemukiman Israel secara parsial berakhir pada 26 September 2010 dan tidak diperpanjang.
4. Pengungsi
Israel
Israel menolak gagasan bahwa pengungsi Palestina dari perang-perang sebelumnya harus diperbolehkan memiliki "hak kembali" ke kampung halaman mereka. Mereka mengatakan bahwa ini adalah perangkat untuk menghancurkan negara Israel oleh demografi dalam rangka mendirikan negara kesatuan Palestina. Untuk itu Netanyahu telah mendesak Israel untuk diakui sebagai negara Yahudi.
Palestina
Secara formal, mereka mempertahankan "hak kembali", dengan alasan bahwa tanpa itu sebuah ketidakadilan besar tidak akan diletakkan secara tepat. Namun, telah ada pembicaraan di kalangan Palestina bahwa "hak" dapat dipenuhi dengan ganti rugi. Mereka menolak mengakui konsep Israel sebagai "negara Yahudi", dan mengatakan ini tidak perlu dan mengabaikan warga Israel-Arab di Israel.
5. Keamanan
Israel
Pemerintah Israel takut bahwa negara Palestina mungkin suatu hari jatuh ke tangan Hamas atau akan digunakan untuk menyerang Israel. Oleh karena itu mereka bersikeras bahwa mereka harus mempertahankan kontrol besar atas keamanan, termasuk di Lembah Yordan, dan bahwa sebuah negara Palestina sebagian besar akan didemiliterisasi.
Palestina
Mereka berpendapat bahwa masalah keamanan akan datang dari solusi dua-negara yang stabil, bukan sebaliknya. Mereka ingin diperlakukan sebagai negara normal. Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas takut bahwa status-klien seperti saat ini akan dipertahankan dan itu akan membuka pengambilalihan oleh Hamas.
Bahan: BBC | Abdul Manan