TEMPO.CO, Yogyakarta - Shaggydog, grup band asal Yogyakarta itu terbentuk di Sayidan pada 1997. Kampung padat penduduk di tepi Kali Code di sebelah timur Malioboro dikenal memiliki lingkungan yang keras.
"Lingkungan saya memang peminum," kata Bandizt, bassis Shaggydog, yang besar dan tumbuh di kampung itu, Kamis 16 Januari 2014 malam.
Tak hanya Bandizt, sebagian besar personel grup band yang menjuluki model bermusiknya dengan nama "Doggy Stylee" itu juga besar di tempat ini. Tak heran, sebagian di antara mereka pun akrab dengan minuman keras, khususnya lapen, minuman keras khas Yogyakarta.
Richard Bernado, gitaris Shaggydog, mengatakan kebiasaan meminum lapen atau minuman beralkohol lain telah jauh berkurang dibanding dulu, ketika mula-mula terbentuk. Bahkan kini, kebiasaan minum lapen bisa dibilang berhenti. "Itu dulu," kata dia. Meski demikan, ia tak memungkiri, sesekali, kegiatan minum minuman beralkohol masik berlangsung.
Menurut Bandizt, juga Richard, ada perbedaan tajam antara peminum dan pemabuk. Seorang peminum, kata mereka, cenderung menikmati minuman dari rasa dan kesukaan saja. Tak harus sampai mabuk menikmatinya. Ini jelas berbeda dengan pemabuk. "Apapun minumannya, dicampur apapun diminum, yang penting mabuk," kata Bandizt.
Menurut dia, banyak daerah di Indonesia memiliki minuman keras khas. Asal diolah dan dicampur dengan benar dan sesuai takaran semestinya, ia yakin, masih aman dikonsumsi. Tentang korban jiwa minuman keras oplosan yang ramai diberitakan media, ia menduga, campuran yang dioplos berasal dari bahan berbahaya. "Kalau dicampur obat nyamuk itu memang bahaya," katanya.
Shaggydog kerap menggelar konser di berbagai daerah di Indonesia. Tiap kali usai manggung, seringkali Doggies -sebutan untu fans Shaggydog- datang dan menawarkan minuman keras khas daerah mereka. "Kalau ada (yang membawakan) yang minum," kata Yustinus Satria Hendrawan, drumer Shaggydog yang biasa disapa dengan Yoyo. ANANG ZAKARIA
ANANG_ZAKARIA