TEMPO.CO, Bandung - Sayembara desain hutan kota Babakan Siliwangi (Baksil) dinilai tidak efektif karena dapat membuka peluang bagi pihak swasta. "Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung tidak menganggap jajaran aktivis, seniman, budayawan, dan pecinta alam yang sempat mengembalikan baksil ke fungsi semula," kata Direktur Walhi Jabar Dadan Ramdan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, Ahad, 19 Januari 2014.
Padahal, kata Dadan, Pemkot Bandung bisa mengundang aktivis, seniman, dan lainnya untuk merundingkan nasib Baksil ke depannya. Baksil memang banyak fungsinya. Selain sebagai hutan kota, Baksil juga menjadi lokasi para seniman Bandung untuk menggelar kelas melukis juga menari.
"Kalau disayembarakan, khawatir dapat menimbulkan peluang kerja sama dengan pihak swasta yang selama ini dihindari para aktivis lingkungan dan jajaran seniman," kata Dadan.
Dari pada menggelar sayembara dengan menghabiskan duit ratusan juta, menurut Dadan, lebih baik Pemkot Bandung mengundangnya untuk berdialog. "Walhi dan jajaran aktivis lingkungan lainnya memiliki data yang mumpuni untuk perbaikan Baksil," katanya.
Walhi berharap Pemkot Bandung mengembalikan fungsi ekologi Baksil. Sebelumnya, Pemkot Bandung, pada era Wali Kota Dada Rosada, berniat membangun Baksil melalui pihak swasta, PT Esa Gemilang (PT EGI). Perusahaan itu berencana membangun restoran di hutan kota itu.
Walhi ingin Pemkot Bandung menata ulang Baksil dan melestarikan tanaman langka di sana. Jika semuanya sudah terlaksana, selanjutnya Dinas Pemakaman dan Taman (Diskamtam) Kota Bandung mesti melakukan pengawasan yang ketat. "Dan membuat peraturan yang diusulkan pada Kementerian Kehutanan agar peraturan dan wilayah Baksil jelas," katanya.
Hingga kini, luas lahan Baksil belum jelas. Berdasarkan prakiraan Walhi, luas Baksil mencapai 3,1 hektare. Sementara versi Pemkot Bandung 3,8 hektare. Saat ditanya mengapa Walhi tidak mengikuti sayembara untuk mendesain ulang Baksil, Dadan menjawab, "Walhi hanya berfungsi sebagai pengkritik saja.
Menurut Kepala Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bandung Arief Prasetya, pihaknya masih mengumpulkan data terkait nasib hutan kota yang diakui UNEP (United Nations Environmental Programme) pada 27 September 2011 lalu itu. "Masalahnya, jika memang Baksil dibentuk seperti keinginan Walhi, Baksil tidak bisa dijadikan hutan kota," kata Arief.
Menurut Arief, Peraturan Daerah tentang Hutan Kota mengatakan bahwa Baksil tidak dapat difungsikan sebagai lokasi berkumpul masyarakat. Dalam perda itu, hutan kota harus memiliki beberapa unsur, di antarany makam, tanaman, sempadan, dan sungai.
Perda tersebut tidak mengizinkan adanya transaksi jual-beli di hutan kota. Artinya, seniman yang berjualan karyanya di sana terpaksa harus pindah lapak. Di Baksil sendiri, kata Arief, terdapat beberapa ruang galeri yang terbuat dari bilik bambu, tempat seniman menjajakan karyanya.
Arief mengatakan, jika ingin mengusulkan desain, aktivis dan budayawan juga harus mengikuti sayembara, karena mereka dianggap bagian dari maasyarakat.
Arief berjanji untuk tidak membuka sedikit pun celah bagi pihak swasta. Rencananya, pemerintah akan mengundang tim ahli kehutanan dan geologi untuk menjadi penilai sayembara Baksil.
Pemkot Bandung memiliki batas waktu hingga pertengahan April 2014. "Karena dana sayembara Rp 200 juta cair di pertengahan Februari, sehingga sayembara harus segera dilakukan," ujar Arief.
PERSIANA GALIH