TEMPO.CO, London - Akhir-akhir ini mulai banyak dibicarakan akronim baru di kalangan ekonom. Setelah akronim BRIC, yakni singkatan Brazil, Russia, India, dan Cina; kini muncul MINT, yakni Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turkey. Ada juga akronim CIVETS, yakni singkatan dari Kolombia (Colombia), Indonesia, Vietnam, Mesir (Egypt), dan Afrika Selatan (South Africa).
Di mana investasi akan ditempatkan? Bagi para manajer investasi akan semakin bingung dengan banyaknya akronim. Mantan ekonom Goldman Sachs, Jim O’Neill adalah pencetus ide akronim BRIC pada 2001. Negara-negara BRIC, MINT maupun CIVETS menikmati pertumbuhan ekonomi cukup tinggi beberapa waktu terakhir. Namun, tidak dijamin kondisi itu seiring dengan kenaikan perolehan investasi. Selain itu, kinerja pasar modal lokal yang melemah membuat para manajer investasi mulai meninggalkan penggunaan akronim-akronim itu.
Seperti dirilis Reuters 21 Januari 2014, aset kelolaan di kawasan BRIC anjlok menjadi 9 miliar euro akhir tahun lalu dari sebelumnya 21 miliar euro di 2010. Menurut data yang dilansir Lipper (anak usaha Thomson Reuters yang menyediakan data investasi dan rating), aset kelolaan dalam bentuk ekuitas di luar negara berkembang justru naik dalam periode yang sama. Goldman Sachs sendiri kehilangan kelolaan aset dari negara-negara BRIC sebesar 20 persen dalam tiga tahun terakhir.
Lagi, O’Neill telah meluncurkan akronim baru. Dalam serial Radio BBC bulan ini, dia menobatkan kelompok MINT, yakni Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki adalah negara raksasa masa depan setelah BRIC. O’Neill menekankan bahwa kelompok negara MINT adalah negara ekonomi, bukan sebuah investasi. Artinya, konsep dan eksplorasi yang dia lakukan lebih pada mengkaji soal masalah dan potensi negara-negara tersebut.
Meski begitu, daya tarik akronim untuk investasi saat ini dinilai mulai memudar. Beberapa manajer investasi menyatakan pengelompokan negara tidak lagi diperhitungkan sebagai bentuk kemajuan pembangunan suatu negara atau analisis soal risiko negara yang menjanjikan. Pengelompokan negara juga sering dianggap mengecewakan. Sebab, kinerja perusahaan terbuka di negara-negara yang dikelompokkan tersebut menjadi target investasi utama para investor asing, tetapi kemudian kinerjanya mengecewakan juga.
Waktu peluncuran akronim O’Neill dinilai tidak ideal. Saat ini Turki sedang dilanda kisruh terkait investasi soal korupsi menyusul protes warganya musim panas lalu. Sedangkan situasi politik Nigeria masih rusuh menjelang pelaksanaan pemilu tahun depan. Indonesia yang mencatatkan defisit neraca pembayaran cukup besar sedang mengalami arus modal keluar.
“Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki semuanya adalah negara yang menarik buat investasi. Namun, tidak terlalu berhubungan dengan akronim itu,” ujar Kepala Ekonom JP Morgan Asset Management, Richard Titherington. Dia lebih sepakat jika pengelompokan negara berdasarkan konsep pasar di mana perusahaan-perusahaan di negara menawarkan imbal hasil dividen tertinggi.
Investor di negara-negara BRIC sudah mulai memahami bahwa pertumbuhan ekonomi mungkin tidak selaras dengan keuntungan yang diraih di pasar modal. Beberapa analis mempermasalahkan soal tata kelola perusahaan di negara seperti Rusia dan Cina. Negara-negara BRIC faktanya kinerjanya tidak terlalu baik di indeks MSCI untuk saham berbentuk dolar AS dalam tiga tahun terakhir. Faktanya, kinerja pasar sagam di negara berkembang jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara maju.
ABDUL MALIK
Terpopuler :
Cuaca Ekstrem, Stok Premium Aman Cuma 17 Hari
Menteri Chatib Janji Dana Bencana Gampang Cair
Cara BPK Lacak Permainan Dana Bansos
Ekspor Dilarang, Investasi Smelter Capai Rp 150 Triliun
PLN Padamkan 479 Gardu Akibat Banjir