TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan Pasal 9 Undang-Undang Pemilihan Presiden yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) harusnya dicabut bersamaan dengan diputuskannya putusan pemilu serentak. "Karena sudah tidak ada dasar argumennya lagi," kata Refly ketika dihubungi Jumat, 24 Januari 2014.
Pasal tersebut, kata Refly, tidak berguna lagi ketika pemilu yang akan digelar serentak antara pemilu legislatif dan presiden-wakil presiden. "Enggak masuk akal kan jika calon presiden diusulkan oleh partai-partai yang mencapai presidential threshold pada periode sebelumnya," kata Refly.
Menurut Refly, presidential threshold hanyalah konspirasi partai besar agar partai kecil tidak bisa mencalonkan presiden sendiri. "Apalagi untuk 2014 ini partai hanya 12, calon presiden tentu tidak akan sebanyak itu," kata Refly.
Menurut Refly, penundaan pembacaan putusan pemilu serentak yang akan digelar 2019 tidak akan memberikan dampak bagi partai-partai pada 2014 ini. Nanti dalam pemilu legislatif di 2019, kata Refly, barulah kelihatan dampaknya. "Partai-partai tidak bisa lagi dagang sapi di antara mereka," kata Refly.
Refly mengatakan koalisi tentunya nanti akan dibentuk pada tahap awal sehingga koalisi akan lebih strategis dan ideologis. Sedangkan koalisi yang terjadi saat ini hanya bersifat pragmatis. "Karena nantinya mereka akan menjual brand yang sama," kata Refly.
Kemarin, Mahkamah Konstitusi membacakan putusan pemilihan umum dilakukan serentak, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden. Pemilu serentak tersebut digelar pada 2019. Keputusan ini merupakan penerimaan sebagian atas uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden, yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak.
RIZKI PUSPITA SARI