TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Yudisial, Imam Anshori Saleh, berpendapat pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilu serentak dipengaruhi dua faktor. Kedua faktor tersebut sangat bisa ditelusuri untuk mengetahui fakta lain di balik pengendapan putusan tersebut. "Bisa saja memang ada permainan," kata dia ketika dihubungi Tempo, Sabtu, 25 Januari 2014.
Dugaan pertama yakni judicial corruption. Maksudnya, sarat akan kepentingan politis. "Ada unsur internal MK saat itu yang berasal dari partai politik," katanya. "Oknum" tersebut, ujar dia, bisa saja mendapat pesanan dari satu atau lebih partai politik.
Imam mengatakan dugaan kedua yakni money corruption. Dugaan ini terkait dengan lebih diprioritaskannya sengketa pilkada dibandingkan sengketa konstitusi. Jika dilihat dari kasus yang ada, kata dia, memang sengketa pilkada lebih "menguntungkan". "Akil contohnya," ujar Imam. (Baca: Akil Disebut Hambat Uji Materi UU Pilpres)
Kamis lalu, MK baru membacakan putusan uji materi Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Padahal putusan ini sudah diketuk dalam rapat permusyawaratan hakim Konstitusi pada 26 Maret 2013. (Baca: Alasan MK Pemilu Serentak Baru pada 2019)
Uji materi ini diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Amarnya menyebutkan pemilu serentak digelar pada 2019. Kendati mengabulkan pemilu serentak, MK tidak membatalkan ambang batas pencalonan presiden sebanyak 20 kursi di parlemen.
AMRI MAHBUB
Berita terkait
Pemilu Serentak, KY Sebut MK Gali Kuburnya Sendiri
Akil Sempat Susun Draf Putusan Pemilu Serentak
Pemilu Serentak 2019, KPU Kerja Ekstra
Alasan MK Pemilu Serentak Baru pada 2019