TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak, Hamdi Muluk, mengatakan tidak terlalu puas dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Putusan ini membuat pemilihan presiden dan wakil presiden dilangsungkan bersamaan dengan pemilihan legislatif. Putusan pemilu serentak mulai berlaku sejak 2019. "Sesungguhnya, kami tidak memaksudkan ini untuk berlaku pada 2019, melainkan 2014," ujar Hamdi ketika dihubungi Tempo, Ahad, 26 Januari 2014.
Menurut Hamdi, gugatan ini sudah dimasukkan sejak Januari 2013 dengan pertimbangan putusannya bisa keluar paling lama April 2013, sehingga masih ada cukup waktu untuk mempersiapkan pemilu serentak pada 2014. "Alasan MK tidak ingin menganggu pemilu itu tidak valid," kata dia.
Sebelumnya, hakim konstitusi Patrialis Akbar mengatakan dalam putusannya bahwa MK tidak bisa menutup mata atas keberlangsungan sistem ketatanegaraan. Karena itu, menurut dia, agenda nasional yang diprogram, seperti pemilu, tidak boleh terganggu.
Dia mengatakan jika putusan pemilu serentak diterapkan tahun ini, bukan tidak mungkin MK bakal dipersalahkan. "MK ini akan jadi sasaran tembak sebagai lembaga pengacau negara," ucap Patrialis.
Sebab, kata dia, jika pemilu mesti dilakukan serentak, perlu proses yang lama untuk membuat regulasi baru sesuai putusan. Juga persiapan infrastruktur, biaya, dan sejumlah masalah lainnya. "Tidak mudah itu disiapkan dalam waktu singkat," ujar Patrialis. Menurut Patrialis, MK mesti mengutamakan kepentingan negara dari segalanya.
TIKA
Baca juga:
Pemilu Serentak, MK Tak Boleh Timbulkan Spekulasi
KPI Sahkan Aturan Iklan Kampanye Politik
Kala Butet Memancing Ahok: Mau Jadi RI 1?
Butet Puji Ahok Cocok Pimpin Indonesia