TEMPO.CO, Jakarta--Badan Pusat Statistik mencatat perbaikan neraca perdagangan pada Desember 2013 yang tercatat surplus sebesar US$ 1,54 miliar. Sayangnya, secara akumulatif sepanjang Januari hingga Desember 2013, perdagangan Indonesia masih mencatatkan defisit sebesar US$ 4,06 miliar.
Meski begitu, menurut Kepala BPS, Suryamin realisasi perdagangan sepanjang 2013 ini sudah lebih baik. "Sebelumnya, sepanjang Januari-November 2013, defiisit perdagangan masih mencapai US$ 5,6 miliar, tapi ditambah kinerja perdagangan pada Desember, ini bisa turun drastis ke US$ 4 miliar. Semoga berpengaruh ke defisit neraca transaksi berjalan," ujarnya di Jakarta, Senin, 3 Februari 2014.
Suryamin mengatakan, defisit perdagangan ini disebabkan oleh perdagangan di sektor minyak dan gas yang mengalami defisit sebesar US$ 12,63 miliar. Sebenarnya, kata dia, kinerja gas sudah surplus sebesar US$ 15,06 miliar, namun perdagangan hasil minyak justru mengalami defisit hingga US$ 24,26 miliar.
Namun, kinerja perdagangan cukup dibantu oleh membaiknya kinerja sektor non-migas yang mengalami surplus cukup tinggi mencapai US$ 8,57 miliar. "Pada 2012, kinerja perdagangan non-migas hanya sebesar US$ 3,917 miliar, artinya dalam setahun kemarin memang komditas non-migas surplus dua kali lipat lebih," ujarnya.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo mengakui ada peningkatan impor hasil minyak sepanjang 2013. Peningkatan tersebut, kata dia, karena peningkatan konsumsi masyarakat juga. "Sepanjang 2013 industri tumbuh. Artinya kebutuhan untuk energi, baik untuk melakukakan kegiatan produksi ataupun untuk barang hasil produksi, misalnya bahan bakar untuk mobil, semakin bertambah," ujar Sasmito.
Berdasarkan data BPS, pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang sepanjang 2013 naik 5,64 prsen dibanding tahuun 2012. Kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan produksi industri kendaraan bermotor, trailer dan semi traliser sebesar 11,48 persen; PErtumbuhan tersebut industri barang logam, bukan mesin dan peralataannya (11,37 persen); dan industri makanan (10,77 persen).
Susmito mengatakan, pemerintah akan tetap sulit menekan konsumsi BBM jika di satu sisi industri juga digenjot untuk tumbuh. Bahkan meskipun pada 2013 lalu pemerintah telah menaikkan harga BBM. "Memang enggak efektif kenaikan harga BBM itu, tetap bisa membeli kok masyarakat yang memiliki kendaraan. Jadi tidak mengurangi konsumsi," ujarnya.
Dia justru menyarankan agar pemerintah lebih optimal mengembangkan bahan bakar alternatif lainnya. "Kuncinya ya kembangkan biofuel, itu untuk mengurangi impor," ujarnya.
AYU PRIMA SANDI
Baca juga:
Menpera Sebut Proyek 1.000 Tower Gagal karena Foke
Stasiun Jebres akan Jadi Stasiun Angkutan Barang
Merpati Tak Terbang Sampai 5 Februari 2014
Pengakuan Menteri Suswono Soal Beras Impor