TEMPO.CO, Jakarta - Dalam sepuluh tahun belakangan ini, Yogyakarta dibanjiri oleh berbagai iklan luar ruangan, dari yang menjajakan produk hingga menampang calon kepala daerah.
Sumbo Tinarbuko, pengajar mata kuliah desain komunikasi visual di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, sudah lama menangkap gejala ini. “Saya sering mengambil gambar iklan luar ruangan untuk bahan kajian di kelas, jadi tahu perkembangan iklan luar ruangan yang semakin parah," kata dia di rumahnya di Kampung Sonopakis Lor, Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, dua pekan lalu.
Menurut Sumbo, dari sudut desain, iklan-iklan itu menumpulkan kreativitas, karena bentuk dan isinya hampir sama serta pemasangannya mengganggu kenyamanan publik. Sumbo bertambah jengah, ketika iklan itu pun menjarah setiap sudut yang tersisa, dari pohon, tiang listrik, lampu jalan, hingga rambu lalu lintas. "Ini sudah jadi teror visual,” kata dia.
Masalahnya, kebanyakan orang menganggap serbuan iklan itu wajar dan pemerintah malah menjadikannya sebagai kesempatan untuk meraup pajak besar-besaran. Sebaliknya, Sumbo merasa ikut kecipratan “dosa”, karena sebagian pembuatnya pernah menjadi mahasiswanya atau koleganya sesama peminat kajian desain komunikasi visual.
Sumbo pun memutuskan untuk mengkampanyekan gagasan antisampah visual lewat dunia maya. Menjelang 2012, dia mulai sering menggunjingkan iklan di kota itu yang layak dianggap sebagai sampah visual di akun Facebook pribadinya. Pada 31 Maret 2012, dia membuat akun baru yang khusus untuk mengunggah foto dan tulisan kampanye antisampah visual. "Ternyata yang menyambut gagasan ini banyak," kata dia.