TEMPO.CO, Yogyakarta - Badan Pengawas Pemilihan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta menemukan 6.000-7.000 pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye di wilayah DIY. Jumlah tersebut merupakan rata-rata temuan saban pekan sejak akhir 2013. Bentuk alat peraga biasanya berupa spanduk, baliho, atau rontek.
“Bawaslu selalu update jumlah pelanggaran tiap pekan. Jumlahnya berkisar itu,” kata Ketua Bawaslu DIY, Muhammad Nadjib, kepada Tempo, Jumat, 7 Februari 2014.
Mayoritas alat peraga kampanye yang ditindak adalah milik calon legislator. Yang membuat Bawaslu prihatin, setiap kali ditertibkan, alat peraga kampanye itu muncul kembali sepekan kemudian. Pelanggaran terjadi lantaran pemasangan alat peraga kampanye berada di dalam zona yang dilarang.
Berdasarkan Pasal 17 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2013, alat peraga kampanye tidak boleh ditempatkan di tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman, dan pepohonan. “Kalau ditertibkan, terus muncul lagi. Sanksi yang kami berikan hanya peringatan,” kata Nadjib.
Dia mengingatkan calon legislator dan calon presiden bahwa meskipun masa kampanye saat ini lebih panjang, yaitu 15 bulan, kampanye yang dilakukan harus sesuai dengan aturan main. Kampanye yang diperbolehkan saat ini adalah melalui rapat terbatas dan tatap muka. Aturannya, jumlah massa yang hadir dalam rapat terbatas atau tatap muka dalam kampanye caleg untuk DPRD kabupaten/kota maksimal 250 orang, caleg DPRD provinsi maksimal 500 orang, dan caleg DPR maksimal 1.000 orang.
Mereka juga harus melaporkan kegiatan tersebut kepada polisi agar mendapat pengamanan. Aturan lainnya yaitu pelaksana dan petugas kampanye haruslah orang yang telah didaftarkan dan dicatat KPU daerah. “Jadi, kalau ada pelanggaran money politic, bisa langsung diidentifikasi pelakunya. Karena mereka adalah subyek hukum,” kata Nadjib.
Dia mengakui banyak caleg yang menggunakan kegiatan rutin masyarakat untuk berkampanye. Misalnya, senam massal ataupun pengajian akbar. Asalkan pengajian tidak dilakukan di tempat ibadah, kegiatan itu tidak termasuk pelanggaran. Begitu pula bahan kampanye yang dibagikan caleg kepada masyarakat. Misalnya, kalender yang menampilkan caleg DPR dari Gerindra, Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro, dan caleg DPRD DIY dari Gerindra daerah pemilihan V, Sleman Yuliana, yang diterima Tempo di kawasan Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Kamis, 6 Februari 2014. Menurut Nadjib, itu bukan pelanggaran. “Sepanjang sesuai aturan main, sah-sah saja. Memang sulit mengidentifikasi. Yang kelihatan pelanggaran berat kalau ada money politic,” kata Nadjib.
Komisi Penyiaran Indonesia DIY juga berencana menyurati media-media penyiaran di DIY. Surat berisi permintaan agar media-media penyiaran melaporkan kontrak iklan kampanye yang mereka jalin dengan calon legislator dan calon presiden. Aturannya, satu media penyiaran harus membuat iklan kampanye untuk 12 partai politik peserta pemilu, tidak boleh salah satu atau hanya beberapa parpol saja.
“Harapannya, dua pekan ke depan, mereka memberi laporan. Kalau tidak, kami akan menindak kalau ada pelanggaran,” kata Komisioner KPI DIY Bidang Pengawasan Isi Siaran, Sukiratnasari.
Media penyiaran di DIY meliputi radio swasta yang berjumlah 38, lembaga penyiaran publik (5), radio komunitas yang sudah mempunyai rekomendasi kelayakan (28 ), televisi lokal (4), dan televisi nasional (10).
PITO AGUSTIN RUDIANA