TEMPO.CO, Yogyakarta - Penyedia jasa pembuatan spanduk di Yogyakarta mengeluhkan partai politik dan calon legislator nakal yang tidak membayar pesanan secara penuh. Mereka mengaku kerepotan menagih uang sisa pembayaran dari para caleg.
Pegawai bagian administrasi Equal Digital Printing di Kecamatan Gondomanan, Yogyakarta, Elton, mengatakan percetakannya pernah terpaksa menomboki uang sisa pemesanan yang tidak dibayar caleg. Jumlah utang para caleg Rp 5-9 juta. Peristiwa ini terjadi pada masa Pemilihan Umum 2009.
Caleg biasanya memanfaatkan jasa perantara untuk memesan spanduk, baliho, dan rontek. Ketika ditanya ihwal uang sisa pembayaran, utusan caleg yang masih berutang beralasan nomor ponsel bosnya susah dihubungi. “Kami sampai mendatangi rumah caleg dan gagal bertemu,” katanya di kantor Equal Digital Printing, Jumat, 7 Februari 2014.
Menurut dia, selain tidak membayar penuh, caleg juga kerap meninggalkan sisa barang pesanan mereka dengan alasan tidak punya duit. Contohnya, kata Elton, caleg hanya mengambil 50 dari 100 kaos yang mereka pesan.
Elton menyatakan untuk menghindari kerugian yang sama tahun ini, sejumlah percetakan meminta pembayaran uang muka di awal pemesanan. Mereka mensyaratkan caleg harus membayar 80 persen uang dari total pemesanan barang. Menjelang Pemilu 2014, Equal Digital Printing mendapat banyak pesanan spanduk, baliho, dan rontek dari caleg dan partai politik. Spanduk yang caleg pesan biasanya berukuran 1 X 5 meter, baliho 3 X 5 meter, dan rontek 60 X 90 sentimeter.
Caleg yang memesan spanduk, baliho, dan rontek ke tempat Elton kebanyakan merupakan caleg Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golongan Karya, Nasional Demokrat, Gerakan Indonesia Raya, dan Demokrat. Caleg dan partai politik kebanyakan membayar uang muka pesanan dalam bentuk uang tunai. Omzet Equal Digital Printing menjelang Pemilu 2014 setiap bulan dari pesanan spanduk, baliho, dan rontek mencapai Rp 50 juta.
Dwi Santoso, pemilik jasa pembuatan spanduk, poster, dan kaos Hitam Graphic di Jalan Srandakan, Bantul, juga mengeluhkan hal yang sama. Dia mengatakan pekerja di Hitam Graphic kesulitan menagih utang caleg dan parpol yang tidak membayar uang sisa pemesanan. Caleg rata-rata tidak membayar uang sisa pembayaran sebesar Rp 3 juta. “Bagi kami uang segitu berpengaruh pada kelangsungan usaha kecil kami,” kata Dwi.
Menurut dia, rumitnya penagihan uang pembayaran pesanan spanduk itu dialami ketika Pemilu 2009. Ini terjadi karena caleg dan parpol menggunakan jasa perantara ketika memesan spanduk dan baliho. Selain itu, caleg memesan spanduk dan baliho secara bertahap tanpa mau membayar penuh.
Ia mengatakan, untuk mengantisipasi kerugian, Hitam Graphic mewajibkan caleg dan parpol membayar uang muka 80 persen dari jumlah pesanan. Caleg dan partai politik banyak memesan spanduk, poster, dan kartu nama padanya sejak akhir 2013. Pesanan terbanyak berasal dari Partai Gerindra dan PDIP. Satu caleg rata-rata memesan 20-100 spanduk berukuran 4 meter. Duit yang dikeluarkan rata-rata Rp 25 juta per caleg. Sedangka untuk poster berukuran A3, caleg merogoh kocek Rp 2 juta. Total omzet Hitam Graphic per bulan sebesar Rp 10 juta.
Staf bagian administrasi CV Polydoor, Kecamatan Umbulharjo, Avi Rochani, mengatakan tempat usahanya kebanjiran pesanan kalender dan kartu nama caleg dari Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Kebanyakan mereka berasal dari Partai Demokrat. Ia mengatakan kenaikan pesanan mencapai 30 -50 persen dibanding Pemilu 2009. Transaksi pembayaran berlangsung lewat rekening. “Mereka bayar penuh karena kami mengandalkan perkenalan dan kepercayaan,” katanya.
SHINTA MAHARANI