TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Duta Besar Indonesia untuk Singapura Luhut Binsar Pandjaitan menilai penamaan KRI Usman Harun adalah hak Indonesia. Hal ini dinilai wajar sebagai negara yang memberikan penghargaan bagi pahlawannya.
"Mereka mengebom karena tugas negara. Perlu digarisbawahi, saat itu konteksnya kita sedang perang," kata Luhut saat dihubungi, Sabtu, 8 Februari 2014.
Letnan Jenderal Purnawirawan ini menyatakan masyarakat di kedua negara juga memahami situasi tegang pada 1965. Hal ini dianggapnya sangat wajar, kemudian muncul perbedaan persepsi terhadap dua anggota Komando Korps Operasi atau marinir tersebut, yaitu sebagai penyerang atau pahlawan. (Baca: Aksi Heroik Asal Mula Nama KRI Usman Harun)
"Makanya, tak usah ribut, saling tahan diri saja," katanya.
Menurut Luhut, penamaan KRI Usman Harun tak akan mengganggu hubungan Indonesia dan Singapura. Ia menilai masyarakat kedua negara sudah tak mempersoalkan lagi pengeboman di gedung Shanghai dan Hongkong Bank atau lebih dikenal MacDonald House pada 10 Maret 1965.
Ia juga menyatakan penamaan itu juga tak layak dipergunjingkan karena berada di wilayah kedaulatan Indonesia. "Singapura sangat berlebihan," kata Dubes Singapura tahun 1999-2000 tersebut.
Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmugam telah menyampaikan protes kepada Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa perihal nama KRI Usman Harun. Singapura mengklaim penamaan tersebut akan menyakiti hati keluarga korban pengeboman 1965.
TNI Angkatan Laut memberi nama frigate buatan Inggris itu dengan gabungan nama dua anggota Komando Korps Operasi atau marinir, yaitu Usman Haji Mohamed Ali dan Harun Said. Keduanya meninggal dalam eksekusi hukuman gantung di Singapura pada Oktober 1968 karena tertangkap sebagai pelaku pengeboman di Macdonald House. (Baca: Moeldoko: Penamaan KRI Usman Harun Tradisi TNI AL)
Akan tetapi, keduanya disambut sebagai pahlawan oleh masyarakat Indonesia saat jenazahnya dibawa pulang. Keduanya bahkan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Keduanya dinilai sebagai prajurit yang tewas dalam tugas negara meski menyebabkan tiga orang tewas dan 33 orang mengalami luka.
Ketegangan dua negara atas peristiwa bom 1965 ini dipahami telah selesai saat Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yeuw menabur bunga di makan Usman dan Harus pada 1973.(Baca: Panas Dingin Hubungan RI-Singapura)
FRANSISCO ROSARIANS
Berita Lainnya:
MPR: Soal Usman Harun, Singapura Keterlaluan!
Dicari KPK, Staf Atut Ngumpet di Hotel
Hakim PK MA Bebaskan Dokter Ayu
Temui Jokowi, Foxconn Janji Investasi Rp 12 T