TEMPO.CO, Tangerang - Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar menyatakan kinerja keuangan Garuda Indonesia pada 2013 sangat dipengaruhi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan tingginya harga bahan bakar. Akibatnya, laba operasional turun 66,4 persen dari US$ 168,1 juta pada 2012 menjadi US$ 56,4 juta pada 2013.
"Laba bersih (income for the period) juga turun dari US$ 110,8 juta menjadi US$ 11,2 juta," kata Emirsyah di Tangerang, Senin, 10 Februari 2014.
Namun, kata Emir, perusahaan pelat merah ini mampu membukukan pendapatan operasi (operating revenue) US$ 3,72 miliar atau Rp 45,27 triliun. "Meski mengalami penurunan laba, pada 2013 Garuda mampu melunasi utang US$ 130 juta," katanya.
Selain keberhasilan melunasi utang, Garuda juga melakukan investasi dalam penambahan armada untuk menunjang operasional dan proses pengembangan Citilink sebagai low cost carrier (LCC) yang beroperasi secara mandiri.
Garuda membukukan pendapatan dari penumpang (passenger revenue) US$ 2,96 miliar pada 2013, semula US$ 2,69 miliar tahun 2012. Hal itu dipengaruhi pertumbuhan penumpang 22,3 persen, dari 20,4 juta menjadi 25 juta pada 2013. Ini tercermin dari frekuensi penerbangan Garuda Indonesia, baik domestik maupun internasional, yang meningkat 28,1 persen menjadi 196.403. Tahun sebelumnya, frekuensi penerbangan hanya 153.266.
"Kapasitas produksi (availability seat kilometer/ASK) pada 2013 juga meningkat 19,8 persen menjadi 43,13 miliar dibanding 2012 yang hanya 36 miliar," kata Emirsyah.
AYU CIPTA
Berita Terpopuler
Jokowi Diminta Audit Busway 'Baru tapi Bekas'
Kantor Importir Bus Transjakarta tanpa Aktivitas
Penyerang Pos Polisi Diduga Anggota TNI
Importir Busway Bantah Armada Rekondisi