TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendatangi gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, 11 Februari 2014. Rombongan Komnas yang dipimpin oleh Ketua, Siti Noor Laila, langsung ditemui oleh Ketua MK Hamdan Zoelva dan hakim konstitusi Patrialis Akbar.
Mereka pun terlibat perbicangan yang serius namun santai. Tanpa basa-basi, Noor Laila langsung menanyakan keabsahan sistem noken dan ikat dalam pelaksanaan pemilihan umum. "Sistem noken biasa digunakan di Papua dan Papua Barat, sistem ikat digunakan di Bali," kata Noor Laila.
Menurut dia, sistem noken adalah tradisi di tanah Papua khususnya di daerah pegunungan. Sistem itu membolehkan kepala suku mewakili suara seluruh warganya dalam pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah. Tak jauh dari noken, sistem ikat di Bali pada prinsipnya memperbolehkan satu orang mewakili suara orang lain saat pemilihan umum. Alasan Noor Laila, MK pernah memutus perkara pemilukada yang terdapat sistem noken dan ikat di dalamnya. Menurut dia, sistem noken dan ikat jelas berpotensi melanggar hak asasi. "Tepatnya hak sipil dalam berpolitik, sebab pemilu itu hak asasi manusia untuk bersuara," kata Noor Laila.
Komnas HAM khawatir dua sistem tersebut akan ditiru bahkan dijadikan panutan di tempat-tempat lain. Selain itu, kedua cara pemungutan suara ini berpotensi mengakibatkan pertikaian hingga konflik.
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menambahkan penggunaan sistem noken dan ikat jelas bukan hanya berpotensi melanggar hak asasi, namun juga merusak azas pemilihan umum. "Jelas tidak 'luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan jurdil (juur dan adil)', pemilu itu individu bukan komunal," kata Pigai dalam kesempatan yang sama.
Bukti sistem noken yang tak demokratis, di daerah pegunungan Papua hampir setiap suku mencoblos calon yang sama. "Jadi di suku A semua coblos calon nomor urut satu, calon nomor urut dua itu nol (tidak ada yang memilih). Berbeda di suku B yang semuanya coblos calon nomor urut dua," jelas dia.
Ketua MK Hamdan Zoelva pun bereaksi. Menurut dia, MK tak membenarkan sistem noken dan ikat. Dia pun mengakui terdapat sistem noken dan ikat dalam sengketa pemilukada yang diadili MK. Namun Hamdan meyakinkan Komnas HAM bahwa sistem noken dan ikat adalah kejadian yang kasuistis. "Jadi amat jarang terjadi," kata dia.
Menurut Hamdan, sistem noken di Papua terpaksa dilakukan karena pertimbangan geografis wilayah pegunungan yang susah diakses. Sehingga tak semua warga suatu suku dapat turun gunung demi mencoblos di tempat pemungutan suara.
Selain itu Hamdan juga memperhitungkan jumlah suara yang diwakilkan. Sebab jika suara yang diwakilkan jumlahnya sedikit ketimbang selisih peserta pemilu yang menang dan kalah.
"Jadi misal suara yang diwakilan itu jumlahnya 500 tapi selisih kedua peserta pemilu yang berperkara di MK lebih dari 5000 ya tidak akan berpengaruh," kata Hamdan. "Tapi kami tetap dukung Pemilu yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia."
INDRA WIJAYA