TEMPO.CO, Jakarta--SAAB Group, produsen armada dan alat pesawat terbang yang bermarkas di Swedia, merupakan salah satu perusahaan yang menawarkan kerjasama pengadaan pesawat kepada Indonesia. Pesawat yang ditawarkan perusahaan yang memiliki jejaring bisnis internasional itu adalah Gripen NG.
"Kami meletakkan Indonesia dalam daftar rencana kerja sama. Kami mendapat permintaan pemberian informasi soal armada kami dari Angkatan Udara Indonesia, yang telah kami penuhi," kata Wakil Presiden Saab untuk Indonesia, Peter Carlqvist saat ditemui di sela acara pameran dirgantara Singapore Air Show, di Bandara Changi, pekan lalu.
Indonesia kini tengah menimbang pembelian pesawat tempur baru pengganti F-5E/F Tiger II TNI-AU. Gripen masuk sebagai nominator penjaga langit nusantara. Namun Gripen mesti bersaing dengan pesawat tempur super canggih yang ditawarkan perusahaan lain seperti Rafale, Sukhoi Su-35BM, serta F-16 Blok 60.
Carlqvist menambahkan Gripen memiliki standar biaya operasional atau pemeliharaan yang murah. "Industri pesawat kini makin canggih tapi juga sekaligus makin mahal. Kami memutus tren dengan menekan ongkos perawatan operasional." ujar Clarqvist.
SAAB, Carlqvist menyebutkan, juga membuka kemungkinan negara yang membeli armada dengan mereka mendapat fasilitas transfer teknologi. Dengan Brazil, yang baru saja membeli 36 unit Gripen NG, misalnya, SAAB melakukan 100 persen transfer teknologi. Kondisi tu bisa terjadi karena perusahaan dirgantara Brazil mumpuni menerima transfer teknologi dari SAAB.
Adapun saat ini, kata Carlqvist, pihaknya tengah melihat peluang itu pada PT DI. "Kami membuka peluang seperti yang kami lakukan dengan Brazil. Walau mungkin tidak semua negara bisa menerima transfer teknologi tersebut, sehingga yang bisa dilakukan akhirnya adalah mentransfernya setahap demi setahap," kata dia.
Clarqvist menjelaskan, SAAB pada umumnya selalu terlebih dulu mencari informasi soal industri lokal sebelum memutuskan mentransfer teknologi. Jika memang hasil diskusi dan negosiasi memungkinkan transfer tersebut terjadi, SAB akan melakukannya dalam jangka panjang, bekerjasama dengan pihak lain, termasuk Angkatan Udara. Kerjasama tersebut diperkirakan berlangsung 30-40 tahun, bergantung pada usia pesawat.
Transfer teknologi diklaim tak akan merugikan mereka. Sebab memang, standar SAAB adalah melakukan peningkatan kemampuan produk mereka selama tiga tahun sekali secara berkesinambungan. Tujuannya agar pesawat yang dibeli bertahun-tahun lalu pun, tetap memiliki komponen modern dan bisa bersaing dengan armada sejenis yang usianya lebih belia.
"Itulah mengapa kami ingin ada transfer teknologi. Kami ingin industri lokal bisa melakukan sendiri perbaikan pesawat mereka. Jadi Andalah yang bertanggung jawab terhadap aset Anda, bukan kami. Andalah yang memegang kendali," ujar Clarqvist. "Jika pun terjadi embargo, Anda tak akan peduli, karena Anda sudah mandiri dan punya kompetensi pemeliharaan sendiri."
Sejumlah negara sudah menjadi pelanggan SAAB, di antaranya Afrika Selatan, Brazil, Swiss, Denmark, Ceko, dan Hungaria. Kini mereka tengah berambisi melebarkan sayap ke Asia Tenggara dengan mendirikan kantor perusahaan di Indonesia, menyusul Thailand yang angkatan udaranya baru saja mengimpor Gripen NG.
TRI SUHARMAN
Baca juga:
SBY Girang Lihat Pesawat Tempur Korea
TNI AU Terima Pesawat Tempur Latih Golden Eagle
TNI AL Jemput Kapal Perang Canggih dari Inggris
TNI Angkatan Udara Pilih Sukhoi Gantikan F-5 Tige