TEMPO.CO, Purwokerto - Dibalut baju terusan berwarna biru tua, Dyah Handayani Nastiti, 22 tahun, terlihat anggun. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Umum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah, ini, sedang sibuk-sibuknya. Hampir tak ada jeda waktu baginya untuk berkampanye menjelang pemilihan umum April nanti. “Darah politik mengalir dalam tubuh saya,” ujar Dyah, saat ditemui di rumahnya di Purwokerto, Jumat 21 Februari 2014.
Saat ini Dyah sedang menyelesaikan skripsinya. Sehingga di sela kesibukannya berkampanye, ia masih menyempatkan diri untuk mengerjakan skripsi. Pagi hingga malam, ia blusukan bertemu calon pemilih. Dari mulai pengajian, pertemuan PKK dan Posyandu, Dyah mencoba merayu calon pemilih untuk memilihnya.
Mendapat nomor urut enam dari PDI Perjuangan, Dyah harus bersaing ketat dengan dua calon inkumben. Belum lagi dari calon lain. Namun ia optimis bisa melenggang ke kursi DPRD Banyumas. Untuk modal kampanye, Dyah mengaku dibantu oleh orang tuanya yang mantan Bupati Purbalingga periode lalu. “Saat ini sudah habis Rp 20-30 juta untuk alat peraga kampanye,” katanya. Untuk pendaftaran ke partai, ia diminta Rp 20 juta seperti calon lainnya.
Agar bisa masuk ke gedung dewan, Dyah minimal harus mengumpulkan suara sebanyak 8.000 suara. Meski cukup ketat, kata dia, dengan bantuan tim sukses yang kebanyakan dari lingkaran keluarganya, ia optimis bisa lolos menjadi anggota dewan.
Dyah mengaku sempat galau, antara memilih menjadi calon anggota dewan atau dokter. Sebab, kata dia, untuk menjadi dokter ia harus mengikuti pendidikan calon dokter atau koas selama dua tahun. “Saya akan cuti kuliah dulu dan konsentrasi menjadi anggota dewan,” ujarnya.
Ia juga sempat kaget dengan realitas politik di lapangan. Tak jarang, ia bertemu dengan calon pemilih yang meminta uang agar ia dipilih. “Politik uang ini soal moral, saya tidak sepakat dengan politik uang,” katanya.
Dyah bukan satu-satunya mahasiswa yang nyaleg. Yoga Bagus Wicaksana, 22 tahun, mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Purwokerto semester 10, mencalonkan diri sebagai calon anggota dewan di daerah pemilihan Banjarnegara. “Saya berkampanye dengan cara memijat orang, karena keluarga saya tukang pijat,” katanya. Ia mengaku keluarganya sudah sejak lama menjadi tukang pijat refleksi. Dari pintu ke pintu, sambil memijat pasien, ia memperkenalkan visi dan misinya.
Sebagai mahasiswa, ia kini sedang mengerjakan skripsi. Agar fokus berkampanye, ia memilih menunda menyelesaikan dulu tugas skripsinya.
Ia optimis, banyak pasiennya yang akan memilih dirinya. Sebagai caleg dari Hanura, Yoga mendapatkan nomor urut empat. Ia diminta Rp 1,5 juta untuk biaya administrasi ke partai. Sementara untuk biaya kampanye, ia mengaku hanya menggelontorkan dana Rp 30 juta. biayanya pun berasal dari simpatisan dan mantan pasien yang pernah ditolongnya.
ARIS ANDRIANTO