TEMPO.CO , Yogyakarta -- Hujan lebat mengguyur kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta selama sekitar 45 menit pada Jumat siang, 21 Februari 2014. Pakar Manajemen Bencana Universitas Gadjah Mada (UGM), Profesor Sudibyakto menilai hujan ini lumayan mengurangi dampak negatif abu vulkanis dari Gunung Kelud yang menurunkan kualitas udara di DIY secara drastis dalam sepekan terakhir.
"Namun kualitas udara masih bisa memburuk lagi apabila hujan lebat hanya sekali dan matahari kembali terik serta angin menghamburkan abu kembali," kata dia di Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM pada Jumat siang, 21 Februari 2014. (Baca: Abu Kelud Pengaruhi Pertanian dan Perikanan DIY)
Kepala Laboratorium Hidrometeorologi dan Kualitas Udara Fakultas Geografi UGM tersebut memaparkan hasil pengukuran kualitas udara di sejumlah titik di sekitar Kota Yogyakarta selama 18-20 Februari 2014 menunjukkan masih tingginya kandungan debu. Kandungan debu di udara, yang melampaui ambang batas normal sebanyak 230 mikrogram per meter kubik, itu tidak banyak berubah sampai Jumat siang. "Setelah hujan Jumat siang ini, kami akan ukur lagi pada sore hari," kata Sudibyakto.
Sudibyakto memaparkan data kandungan debu di udara sekitar kawasan kampus UGM menunjukkan kadar 1.082,9 mikrogram per meter kubik. Di udara sekitar perempatan Kentungan, kandungan debu pada Kamis pagi kemarin malah sampai titik 1.249,5 mikrogram per meter kubik.
Tingkat kandungan debu sebesar tiga kali lipat lebih tinggi daripada ambang batas normal itu bertahan karena masih banyak abu vulkanis mengendap di jalanan, ranting atau daun pepohonan dan atap gedung yang rapat. "Kondisi udara seperti ini berbahaya bagi kesehatan," kata dia. (Baca: Dampak Abu Kelud, 1.315 Orang Yogya Terserang ISPA)
ADDI MAWAHIBUN IDHOM