TEMPO.CO, Semarang - Pemilih pemula di Kota Semarang, Jawa Tengah, dinilai sangat rawan tak memilih dalam pemilihan umum legislatif 9 April mendatang. Selain apatis, banyak pemilih pemula yang tak paham bagaimana cara menentukan pilihan. “Mereka juga secara teknis tak paham dapel (daerah pemilihan), surat suara, juga calon legislatif,” kata Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Semarang Hendri Wahyono seusai sosialisasi pemilih pemula di Balai Kota Semarang, Rabu, 26 Februari 2014.
Dia menjelaskan bahwa keberadaan pemilih pemula yang apatis sangat sulit untuk diajak menggunakan haknya. “Tapi, bila mereka kritis dan punya rasa ingin tahu tentang pemilu, bisa menekan angka golput,” katanya. Dengan situasi banyaknya apatisme itu, KPUD Kota Semarang telah mengeluarkan slogan “Ngga Nyoblos Tak Keren”.
KPUD Kota Semarang mencatat ada 180 ribu pemilih pemula dari total pemilih yang ada mencapai 1.101.290 orang. Kondisi pemilih pemula itu dinilai penting untuk menghindari angka golput seperti pemilihan sebelumnya.
Menurut Hendri, keberadaan pemilih pemula yang usianya antara 17 hingga 21 tahun itu perlu sentuhan langsung agar jumlah pemilih tidak terus menurun. Termasuk 86 sekolah dengan potensi siswa yang punya hak pilih mencapai 46 ribu orang.
Hendri mengakui kelompok pemilih pemula yang punya karakter sama tak sulit untuk menerima sosialisasi pemilihan umum. Namun KPU Kota Semarang belum mampu mensosialisasikan dengan baik karena banyaknya tipologi pemilih pemula yang sulit dijangkau. “Kalau ini tak digarap, bisa mempengaruhi angka golput,” katanya.
Catatan KPUD Kota Semarang menunjukkan, pada pemilihan umum wali kota pada 2010, jumlah partisipasi pemilih hanya 60 persen, sedangkan pemilihan gubernur 61 persen. Untuk menghindari minimnya partisipasi pemilih itu, Komisi Pemilihan telah mensosialisasikan dengan cara lain, yakni lewat jejaring sosial seperti Twitter, Facebook, maupun BlackBerry Mesengger (BBM).
Pakar komunikasi Universitas Diponegoro Semarang, Triyono Lukmantoro, menilai minimnya informasi dan pemahaman pemilu terhadap pemilih pemula itu justru menjadi tantangan partai politik untuk meraih dukungan. “Ada keuntungan bagi partai bila mampu meyakinkan dan memberi pemahaman ke pemilih pemula. Partai akan dapat dukungan,” kata Triyono.
Menurut dia, saat mendekati pemilu seperti saat ini, diperlukan tanggung jawab partai agar mampu menawarkan calon anggota legislatif dan visi partai yang menarik minat publik untuk memilih. Bila itu dilakukan, secara otomatis angka golput bisa dikurangi.
Ia mencontohkan tingginya angka golput di Amerika Serikat disebabkan calon dan visi partai dianggap tak menarik. “Ancaman golput tanggung jawab bersama. Tak hanya penyelenggara pemilu, tapi juga partai,” katanya.
EDI FAISOL