TEMPO.CO, Jakarta - Ada yang menarik dalam seleksi calon hakim konstitusi di DPR, Senin, 3 Maret 2014. Ahli hukum tata negara sekaligus anggota tim pakar seleksi calon hakim konstitusi, Lauddin Marsun, mengkritik calon hakim konstitusi, Ni'matul Huda, karena sering salah tulis ataupun salah bicara.
Lauddin mengatakan salah tulis dan salah bicara sangat fatal bagi hakim karena akan mempengaruhi keputusan. "Menjadi hakim MK tak mungkin bilang 'khilaf' terus-terusan," kata Lauddin saat melakukan uji kelayakan dan kepatutan, Senin, 3 Maret 2014.
Awalnya Lauddin bertanya kepada Ni'matul ihwal makalahnya yang sering menyebut "UUD 1945". Dia bertanya UUD 1945 yang dimaksud Ni'matul itu yang setelah diamandemen atau sebelumnya. (baca: Calon Hakim Konstitusi Dikuliahi Pakar Tata Negara)
"Mohon maaf, saya khilaf. Itu yang saya maksud UUD Negara Republik Indonesia 1945," jawab dosen Universitas Islam Indonesia ini. Lauddin langsung menimpali bahwa hakim konstitusi tidak boleh khilaf. Dia memaklumi kesalahan itu bila Ni'matul masih berstatus mahasiswa, bukan pengajar di perguruan tinggi.
Ni'matul langsung terdiam. Tangannya bergetar. Dia juga seperti kehilangan konsentrasi ketika Lauddin menggunakan istilah-istilah dalam bidang hukum tata negara saat bertanya. Dia meminta Lauddin mengulang pertanyaannya.
Ni'matul Huda sebelumnya pernah mengikuti seleksi hakim konstitusi. Pada 2013, namanya sempat masuk dalam daftar calon hakim konstitusi di DPR. Namun dia akhirnya mundur karena saat itu masih menjabat Direktur Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Rektor Universitas Islam Indonesia tak memberinya izin karena masa jabatannya belum habis.
SUNDARI
Berita terpopuler
Indra Sjafri: Fisik Pemain Timnas U-19 Dahsyat
Di Balik Kisruh PSSI: Ada Rebutan Bisnis Hak Siar
Pemerintah Ambil Alih Sertifikasi Halal dari MUI
NATO Perintahkan Rusia Tarik Pasukan dari Ukraina
Siapa Diogo Margoda, Pemeran Yesus yang Seksi?